Senin, 07 Januari 2008

Feature

Upaya Telkomsel Melayani Masyarakat Pinggiran
Buka Isolasi, Bahu Siap Pikul Besi

Kata sahibul hikayat, suatu kali seorang bapak di Concong, sebuah kawasan pinggir di Indragiri Hilir, pulang dari Pekanbaru dengan gembira. Di tangannya tergenggam sebuah handphone yang kemarin siang dibelinya di Pekanbaru. Dia bangga, dan ingin menunjukkan alat ajaib itu kepada keluarganya. Namun, kebahagiaan itu tiba-tiba hilang. Karena, ketika dia coba menghubungi keluarganya yang di Tembilahan dengan handphone itu, tak terdengar suara apa-apa kecuali suara tut… tut… tut…
’’Bedigul betul orang Pekanbaru ni. Jual hape rosak rupanya die,’’ umpatnya.
Dia merasa tertipu. Petang itu juga dia berangkat ke Pekanbaru. Di toko tempatnya membeli ’’HP rusak’’ itu, dia langsung marah-marah. Memaki hamun. Dia mengaku telah ditipu karena HP yang dibelinya tak bisa dipakai. Malah sampai pula niatnya untuk mengadu ke polisi. Entah iya entah tidak.
’’Dikau nak tipu aku ye? Dikau kasih aku hape rosak. Dikau cakap aku tak sanggup beli hape mahal, hah!’’ sergahnya.
Gadis penjaga konter itupun bingung. Bagaimana tidak, setelah memeriksa handphone yang dikomplain sang Bapak tak ada yang rusak. Dicoba menghubungi seseorang, bisa. Sekarang giliran sang bapak yang bingung. Namun dalam pembicaraan selanjutnya terungkap juga bahwa di Concong memang belum ada sinyal sama sekali. Jadi, patutlah penyelanta itu tak berfungsi.
’’Ooo… di Concong tu belum ada sinyal, Pak. Harus ada sinyal dulu baru bisa gunakan handphone ni,’’ kata si gadis penjaga konter handphone.
’’Dikau cakaplah dari kemarin. Kalau macam tu, aku belilah sinyalnya agak tiga buah. Siapa tahu nanti hilang pula waktu aku ke kebun ngambil kelapa. Tak mungkin aku tiap bulan ke Pekanbaru ni beli sinyal baru,’’ kata sang Bapak serius. Dia tak marah lagi.
Si gadis penjaga konter melongo.
***
Bagi orang-orang yang bekerja di dunia jasa telekomunikasi, cerita seperti di atas sebenarnya banyak versi. Masih banyak cerita lain yang lebih seru, khas kisah-kisah sahibul hikayat. Sebagian besar adalah kisah nyata yang merupakan pengalaman mereka di lapangan. Maklum, membandingkan masyarakat gagap teknologi dengan serbuan teknologi tingkat tinggi seperti handphone, tentu saja akan menciptakan pernik kisah yang menggelikan hati.
Kehadiran handphone sampai jauh ke pelosok tak tersentuh telah menjadi fenomena yang tak terbayangkan sebelumnya. Dia telah menjadi gurita super yang mampu menelusup hingga jauh ke daerah yang selama ini tak terjamah. Siapa yang bisa membayangkan suatu daratan yang tak pernah dilindasi ban mobil, tak ada pembangunan memadai, masyarakatnya masih sangat kolot, namun ternyata mereka sudah melek teknologi? Siapa yang bisa membayangkan kalau di daerah yang terisolir karena ketiadaan infrastruktur jalan, ternyata mendapat infrastruktur komunikasi yang mapan? Ya, sekarang bukan lagi sebuah kemustahilan kalau seorang jejaka di pedalaman kebun Ujung Batu berkirim SMS cinta dengan pacarnya di Pekanbaru, atau seorang gadis ABG di pedalaman Indragiri Hilir suka men-down load lagu-lagu terbaru Britney Spears atau Agnes Monica.
Di tengah pembaruan budaya itu pula, Telkomsel hadir di Indonesia. Satu-satunya penyedia jasa GSM yang hadir pertama kali bukan di Jakarta ini, telah berada di garis terdepan dalam membuka daerah-daerah terisolir lewat jaringan komunikasi. Mereka melayani masyarakat di hampir semua tempat dengan segala macam kepentingan.
’’Kami sudah banyak membuka isolasi daerah-daerah terpencil. Walau mereka tak terhubung lewat jalan darat, namun mereka bisa berhubungan lewat sinyal handphone,’’ kata Manajer Grapari Telkomsel Riau Zulfikar.
Saat ini, menurut Zulfikar, mereka hampir melayani 100 persen wilayah kecamatan di Riau. Hanya sekitar 10 persen saja daerah yang belum dijangkau sinyal Telkomsel. Selain daerah yang 10 persen itu, pengguna kartu Halo, Simpati, dan As, sudah bisa menikmatinya dengan sangat tenang dan senang.
Soal melayani sampai ke pelosok tak tersentuh itu, Telkomsel memang punya target manis. Menurut Zulfikar, mereka ingin memberikan hadiah spesial saat ulang tahun ke-58 Riau pada awal Agustus 2006 nanti. Tentu saja bukan hadiah berupa barang atau karangan bunga. Hadiah yang ingin mereka persembahkan adalah coverage sinyal Telkomsel berhasil membuka daerah-daerah terisolir di Riau. Paling tidak, semua kecamatan yang ada di Riau ini, sudah mempunyai jaringan Telkomsel.
’’Selain menjadi hadiah bagi ulang tahun Riau, keberhasilan itu nantinya juga menjadi hadiah ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia,’’ kata Zulfikar.
Keberhasilan membuka daerah terisolasi dengan jaringan sinyal handphone untuk Riau, menurut Zulfikar, sejalan dengan program Pemerintah Provinsi Riau pengentasan kemiskinan dan kebodohan dan pembangunan infrastruktur (K2I). Telkomsel memandang, keberadaan infrastruktur komunikasi telah menjadi salah satu kunci bagi pembangunan suatu daerah. Artinya, jika di daerah itu sudah ada jaringan komunikasi selular, tentu akan mendorong pertumbuhan daerah itu sendiri, termasuk dari segi aktivitas ekonomi dan investasi.
Lalu, Zulfikar memberikan contoh. Katakanlah di suatu daerah yang cukup terpencil memiliki sebuah sumber daya alam yang siap dikembangkan. Hanya saja, karena lokasi itu tidak terjangkau infrastruktur jalan, seorang investor akan enggan datang ke sana. Bagaimanapun, mobilitas pekerjaan mereka mengharapkan ada komunikasi dengan pihak lain di tempat lain.
Nah, persoalan investor ini akan terjawab bila tersedia jaringan komunikasi. Seorang investor, atau pengawas lapangan, atau bisa saja seorang karyawan biasa, tidak akan merasa terbuang di sebuah pulau bila dia masih punya kesempatan untuk berbicara dengan keluarga dan koleganya lewat telepon seluler, atau ber-SMS ria dengan orang yang disayanginya.
’’Dengan komunikasi, urusan jadi lancar dan mereka tidak merasa seorang diri di tempat terpencil,’’ kata Zulfikar.
Zulfikar menyadari betul, untuk melayani daerah terpencil sering kali tidak menguntungkan dari sisi bisnis. Maklum, grafik pemakaian handphone di sana memang tidaklah terlalu menjanjikan. Namun begitu, pada persoalan ini Telkomsel lebih mementingkan sisi nasionalis dan humanisnya, bukan persoalan untung dan rugi. Lagi pula, 65 persen saham Telkomsel masih milik PT Telkom, yang berarti juga punya visi dan misi sesuai pemerintah.
’’Anggaplah misalnya tak ada pengguna di situ, kita pun tak perlu merasa rugi. Rugi pun, kita bisa subsidi silang dari yang lain. Yang terpenting, misi ikut membangun sarana komunikasi itu jalan. Suatu saat, kawasan yang terbuka oleh infrastruktur komunikasi, akan lebih mudah berkembang,’’ kata Zulfikar.
Untuk diketahui, kata Zulfikar, di antara sekian banyak operator seluler, saat ini Telkomsel menguasai 54 persen market produk kartu selular se-Indonesia. Sementara untuk di Sumatera saja, mencapai lebih dari 70 persen. Khusus untuk di Riau, Telkomsel mengusai pasar sebanyak 80 persen. Dari jumlah itu, 90 persen di antaranya adalah kartu prabayar, baik Simpati maupun Kartu AS. Sisanya yang 10 persen, adalah Kartu Halo (pascabayar).
***
Sekali lagi, selama ini sinyal telepon seluler selalu menjadi barang mahal di wilayah pinggiran, apalagi daerah terisolir. Lalu, siapa sebenarnya yang berjasa menghadirkan sinyal di daerah-daerah marjinal itu?
Ketika hal ini ditanyakan kepada Zulfikar, dia langsung menunjuk Herbert Siregar. Dia adalah Supervisor Project Sumbagut Telkomsel. Herbert dan timnya telah bersusah payah menghadirkan sinyal agar bisa melayani keinginan warga. Ketika ditanya Riau Pos, Herbert agak sungkan dibilang paling berjasa. Karena, yang dilakukannya bersama tim hanyalah untuk melayani masyarakat tanpa embel-embel ingin dikenang jasanya.
Kepada Riau Pos, Herbert banyak bercerita betapa ganasnya daerah pesisir Riau dan kawasan yang terisolir lainnya untuk ditaklukkan. Beberapa lokasi tempat mereka memancangkan BTS, bahkan tidak mempunyai jalan yang bisa dilalui kendaraan sejenis mobil.
’’Untuk membawa bahan ke lokasi pembangunan BTS, terkadang kami harus memikul di bahu dalam jarak jauh. Namun karena ini semangat untuk membangun jaringan infrastruktur komunikasi, kita tetap bersemangat,’’ kata Herbert.
Sekadar menyebutkan, wilayah yang sulit ditumbangkan itu tersebar di sepanjang Indragiri Hilir, Ujungbatu, Kuala Kampar, Tanjung Medang, Rupat, dan lainnya. Sebagai catatan, kata Herbert, kesulitan yang mereka hadapi bukan saja menaklukkan keganasan alam. Sering kali faktor nonteknis ikut serta juga. Katakanlah, oknum-oknum aparat yang mempersulit, atau orang-orang bagak yang memajak.
’’Kalau dipikir sulitnya, memang membuat batin terpukul. Namun bila BTS sudah hadir, dan kita melihat traffic penggunaan handphone mulai bergerak, beban yang berat itu serasa hilang seketika,’’ kata Herbert.
Telkomsel memang semakin dekat dan semakin nyata. Orang-orang yang berjasa menghadirkan sinyal di daerah pelosok itu, juga sudah dapat menarik nafas lega. Diharapkan, dengan perkembangan ini, tidak akan pernah lagi ada seseorang, katakanlah dari Concong, datang ke Pekanbaru setiap bulan hanya sekadar untuk membeli sinyal sepotong dua.***

0 komentar: