Jumat, 10 Oktober 2008

Resesi Dunia dan Turunnya Harga TBS

Kehidupan selalu beredar pada siklus yang tak jauh dengan masa lalunya. Dan, seakan tak pernah bosan, siklus resesi ekonomi yang terjadi pada 1998 silam, nampaknya berulang di tahun 2008. Padahal, rasa pedih dan letih akibat hancurnya ekonomi yang juga ditandai dengan pergantian pimpinan negara di Indonesia, masih terasa. Ketika itu, semua orang mengetatkan ikat pinggang. Jutaan orang harus kehilangan pekerjaan. Sekian banyak yang sebelumnya konglomerat terjun bebas jadi melarat.

Kini, getaran resesi ekonomi dunia menghantam kembali. Bermula dengan kenaikan harga minyak dunia, berimbas pada krisis 3 F; food (pangan), fuel (energi), dan financial (financial), dan akhirnya membuat pasar modal di Amerika Serikat (AS) terkoyak. Episentrum mimpi buruk ini masih berada di AS. Walau pemerintahan AS sudah mengucurkan dana talangan (bailouts) sebesar 700 miliar dolar AS, pasar saham negeri Paman Sam itu tetap juga belum membaik.


Di Indonesia, getaran gempa ekonomi itu juga sudah sangat terasa. Paling tidak itu terbukti pada Rabu (8/10), untuk pertama kalinya dalam sejarah Bursa Efek Indonesia (BEI) stop jual-beli saham di tengah jalan, sekitar pukul 11.08 JATS (Jakarta Automated Trading System). Ini karena penurunan harga dinilai sudah tidak wajar. Saat disuspen, IHSG anjlok 168,52 poin (10,38 persen) ke titik 1.451,669 dengan nilai transaksi hanya Rp952,165 miliar. Itu merupakan indeks terendah sejak September 2006.

Di tengah carut-marut perekonomian itu, tiba-tiba datang berita yang tak kalah hebohnya dari Riau. Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terjun bebas. Dari angka mencapai Rp2.000 per kilogram, kini bahkan sempat menyentuh angka Rp300 per kilogramnya. Atau, terjadi penurunan harga 700 persen. Harga karet yang sempat menyentuh angka Rp14.000 per kilogramnya, kini bisa turun hingga ke angka Rp6.000 sampai Rp7.000 per kilogram. Atau turun sekitar dua kali lipat.

Penurunan drastis ini sangat berpengaruh besar bagi masyarakat petani. Karena, bila selama ini sebagian mereka mampu menghasilkan uang hingga Rp4 juta per bulan untuk satu kapling kebun sawit, kini hanya menerima Rp700 sampai Rp800 ribu. Padahal, keperluan hidup mereka dalam beberapa tahun belakangan ini sudah disetel di angka pendapatan Rp4 juta per kapling sawit.

Pertanyaan yang kini benar-benar membuat penasaran petani adalah, apakah benar penurunan harga TBS dan karet itu disebabkan permulaan resesi ekonomi dunia?
Kalau berkaca dari analisa pengamat ekonomi Prof Dr Detri Karya SE MA, penurunan harga itu lebih disebabkan pembebanan biaya produksi perkebunan besar kepada petani kecil yang dilakukan konglomerat yang menguasai industri hilir. Kenaikan biaya produksi mereka akibat kenaikan harga minyak, dibebankan kepada petani. Para konglomerat itu tak mau mengurangi pendapatannya.

Kalau begitu, sebenarnya tak ada hubungan antara guncangan resesi dunia dengan harga TBS. Lagi pula, penurunan drastis harga TBS itu juga disebabkan infrastruktur yang buruk, jalanan yang tidak bisa dilalui, dan pungutan liar di tengah jalan.
Kalau memang resesi dunia itu belum terasa di tengah masyarakat petani, harusnya pemerintah mengulurkan tangannya untuk membantu petani, dan di sisi lain memperingatkan (bisa juga menjewer) konglomerat yang nakal.

Harus ada kebijakan khusus untuk menyelamatkan para petani tersebut.***

Selengkapnya...

Selasa, 06 Mei 2008

Sensasi Iyeth Bustami

Tiba-tiba, Iyeth Bustami membuat kejutan. Penyanyi dangdut asal Riau ini, menyatakan siap maju sebagai bakal calon gubernur atau wakil gubernur Riau dalam Pemilihan Gubernur Riau (Pilgubri) 2008. Orang-orang menebak, ’’kenekatan’’ Iyeth ini pasti terinspirasi dari kisah sukses rekan-rekan artisnya yang lain semisal Rano Karno, Dede Yusuf, dan kini menyusul si duda keren (duren) pedangdut Saiful Jamil.

Seriuskah Iyeth? Orang banyak melihat langkah ini sebatas sensasi. Bagaimanapun, sebagai artis Iyeth memang sensasional. Peraih berbagai penghargaan di bidang musik ini, memang sering membuat berita besar. Mulai dari lagunya yang meledak di pasaran, digugat karena dianggap menjiplak, menikah sirri, memiliki kedekatan khusus dengan seorang atau beberapa orang petinggi di Riau, kepemilikan rumah seharga Rp4 miliar di kawasan elite Jakarta, dan lain sebagainya.

Seriuskah orang lain menanggapi Iyeth? Ini yang lebih sensasional. Ternyata, figur Iyeth langsung mendapat tempat untuk dibicarakan. Bahkan, beberapa partai sedang menjajaki kedalaman lubuk hati dan akal budi Iyeth. Bukan hanya partai kecil, tapi juga partai besar. Salah satunya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang beberapa bulan terakhir tampil jumawa dan membelalakkan mata dalam beberapa pilkada. Sosok Iyeth dianggap mampu merepresentasikan kalangan muda, kawasan Riau pesisir, dan tentu saja akan mampu mendulang suara.


Beberapa politisi dan orang-orang yang disebut-sebut akan maju sebagai gubernur atau wakil gubernur, ternyata juga memberi respon positif. Salah satunya Chaidir, Ketua DPRD Riau, yang disebut-sebut sebagai calon yang diperhitungkan. Dia siap berduet dengan Iyeth di panggung politik, tapi tidak di panggung artis.

Saya mengenali Iyeth saat bertugas sebagai wartawan di Jakarta, tahun 2003 lalu. Beberapa kali kami melakukan komunikasi intensif, terutama tentang dunia kesenian. Sebagai sesama seniman kami beberapa kali curhat, bahkan merencanakan beberapa konsep di bidang kesenian. Saya sangat senang mengenalnya, karena Iyeth ternyata tidak menjadi orang Jakarta, meskipun tinggal di Jakarta. Perempuan hitam manis dan terkadang tampil metropolis ini, tetap tidak melupakan gaya hidup dan bahasa Melayu Bengkalis, Negeri Junjungan tempat dia berasal.

Dalam beberapa kali komunikasi itu, bila bicara soal politik dan kehidupan sosial, Iyeth nampaknya lebih banyak bercerita tentang kekecewaannya terhadap beberapa orang. Walaupun tak dapat disangkal ada beberapa manuver yang dilakukannya, tapi tetap saja bukan sebuah langkah politik praktis. Politik rajuk dan merunduk di bawah bayang-bayang orang lain, sangat jelas terasa. Mungkin ini bagian dari sublimasi kekecewaan dan ketidakberdayaanya selama ini. Coba saja selami kedalaman lirik lagu Ijuk yang dibanggakannya ketimbang Laksamana Raja di Laut yang fenomenal itu: Kau kusangka bulan, sayang/yang dapat kugenggam sayang/rupanya kau bintang yang jauh/tak mungkin dapat kusentuh...

Kalau nanti Iyeth benar-benar ikut bursa, tentu saja ini kejutan lain Pemilihan Gubernur Riau (Pilgubri) 2008. Ini juga berarti menyuburkan tren seorang artis di ajang pemilihan kepala daerah. Di balik itu, kehadiran Iyeth juga akan memberi api baru yang akan menghangatkan dan memanaskan bakal calon lainnya. Karena bagaimanapun, milestone politik Riau juga pernah diwarnai dengan manuver Iyeth beberapa waktu lalu. Bukankah dari beberapa penggal lagu Ijuk di atas terlihat jelas nuansa rajuk, putus asa, sekaligus bibit dendam di sana?

Panggung politik memang tak jauh beda dengan panggung seni. Ada perjuangan di sana. Ada air mata, gelak tawa, hidden agenda, siasat, bibit ’’kesumat’’. Di panggung seni, Iyeth sudah membuktikan kapasitas dan kapabilitasnya melakoni itu semua. Di panggung politik, nampaknya Iyeth coba mencari sekaligus mengaktualisasikan jati diri.***

Selengkapnya...

Selasa, 11 Maret 2008

Temberang Dr M dan Pemilu 2008 Malaysia

Malaysia berubah. Garis kebijakan nampaknya bakal bergeser dari titik koordinat lama. Ini tak terlepas dari hasil pemilihan raya (Pemilu) yang diadakan Sabtu (8/3) lalu. Bagaimana tidak, Barisan Nasional yang selama ini selalu mendominasi, bahkan selalu mendapatkan 2/3 suara kongres, ternyata pada pemilihan kali ini ”jatuh tapai”. Sebaliknya, partai oposisi menang besar.

Sesungguhnya, Barisan Nasional tetap menang. Mereka belum terkalahkah sejak didirikan 1 Juli 1974 lalu. Hanya saja, Pemilu 2008 ini adalah yang terburuk dalam sejarah pencapaian mereka. Indikasinya, bila Pemilu 2004 mereka berhasil menguasai 199 kursi dari 219 kursi, atau lebih dari 2/3 dari total kursi yang diperebutkan, maka pada Pemilu 2008 ini, mereka hanya meraih 140 kursi dari total 222 kursi yang diperebutkan. Sedangkan partai-partai oposisi justru melakukan lompatan besar. Jika tahun 2004 mereka hanya mendapat 20 kursi, maka di tahun 2008 mereka langsung meraup 82 kursi.



Bagi Barisan Nasional, Pemilu 2008 ini menjadi pukulan telak yang sangat memalukan. Ini tentu saja tidak terlepas dari gegabahnya Barisan Nasional dan progresifnya oposisi. Seperti diketahui, pelaksanaan Pemilu kali ini pun terkesan agak dipercepat. Apalagi setelah timbul ketegangan, demonstrasi besar-besaran, harga-harga yang meroket, dan stabilitas yang tidak terjaga. Pernyataan Badawi yang rasial dan melecehkan salah satu etnis di Malaysia, menjadi pemicu letup gelombang instabilitas itu. Pemimpin Barisan Nasional yang juga PM Malaysia itu juga dianggap paling bertanggung jawab.

Barisan Nasional memang cerita miris di Malaysia saat ini. Para petinggi Barisan Nasional, terutama Mahathir Mohammad yang dinilai sukses 22 tahun memimpinnya, jadi temberang. Dia menuding dan memaksa Pak Lah, pangilan Abdullah Ahmad Badawi, bertanggung jawab 100 persen. Mahathir juga merasa bersalah dan terbawa dalam rasa sedih mendalam karena menunjuk Pak Lah, bukan yang lain.

Rasa bersalah itu memang sudah datang terlambat. Ketika Dr M, julukan Mahathir Mohammad menyerahkan estafet United Malay Nation Organisation (UMNO), motor utama penggerak Barisan Nasional kepada Pak Lah, hampir semua orang merasa pesimistis. Mengapa tidak kepada Najib Razak, yang dikenal lebih piawai dan disegani? Mengapa harus kepada Pak Lah yang dikenal terlalu santun dan tidak tegas?

Sebenarnya kalau dirunut ke belakang, rasa bersalah Dr M itu bisa berpangkal pula kepada keputusannya untuk menawan, mempermalukan, dan menghukum Anwar Ibrahim; orang yang paling dipercayanya sebelum Pak Lah dan Najib Razak. Keputusannya menghukum Anwar ini pula yang menjadi bumerang bagi UMNO, dan tentu saja Barisan Nasional. Bukankah hasil sangat positif yang diraih oposisi di Pemilu 2008 ini berkat terzalimnya Anwar Ibrahim? Bukankah perjuangan militan Anwar, rasa tak menyerah Wan Azizah, dan pesona mendalam Nurul Izzah, telah menjadi cahaya yang menerangi hati pemilih Malaysia tentang betapa rapuhnya Barisan Nasional?

Kini, Malaysia memang sudah menjalani takdirnya. Barisan Nasional dipungkang dari segala arah, menuai malu luar biasa. Oposisi kini bersorak gembira karena suara mereka sudah didengar rakyat Malaysia. Kita tunggu saja, seperti apa Malaysia setelah berubah. Apakah masih akan menjadi negara yang penuh pesona dan salah satu kekuatan utama di Asia Tenggara?***

Selengkapnya...