Minggu, 13 Januari 2008

catatan lepas

Menjual Riau Satu Paket

Dengan darah dan airmata, saya akan berjuang mempertahankan tanah dan bangsa tempat darah bunda tertumpah ketika melahirkan saya.
Bagai naga, negeri bernama Riau ini terus menggeliat. Laju pembangunan gedung, jalan dan segala fasilitasnya, mengundang kagum. Tingkat konsumtif masyarakatnya, juga menimbulkan decak. Negeri perburuan ini, kini memang sedang berpesta.
Tapi, tunggu dulu. Siapa yang sebenarnya sedang menikmati berpesta? Pemburukah, atau penduduk yang sebenarnya pemilik barang-barang buruan itu? Sampai sejauh mana masyarakat bisa menikmati mewahnya negeri ini?
Pertanyaan menusuk seperti ini, sudah sekian lama menikam-tusuk jantung masyarakat Riau. Negeri perburuan ini tidak ubah bagai hidangan yang habis dikunyah, dimamah dan dicomot sana dan sini. Yang tersisa hanya tulang belulang, dan sendawa orang yang kekenyangan.
Lalu, haruskah kita ‘’melayu’’? Atau, apakah kita mesti melakukan amuk untuk menunjukkan bahwa kita ini ada? Bagaimana pula kalau saya mengusulkan agar Riau ini terus kita jual, bahkan dalam satu paket saja? Dalam artian, sekali menjual, terjuallah semuanya?
Tunggu. Konsep menjual saya berbeda dengan terjualnya Riau di masa lalu. Bila dulu yang beruntung hanya pemburu, saya ingin yang beruntung itu kini juga pemegang ‘’hak milik’’ atas hasil buruan itu.
Tapi, mengapa mesti satu paket? Selama ini, kita cenderung menjajakan Riau secara parsial. Dinas Pariwisata berpromosi sendiri-sendiri, Dinas Pendapatan pun begitu. Pemilik hotel dan para pengusaha, juga mencari dan menjual produknya nafsi-nafsi. Sampai yang kecil-kecil seperti pengusaha rotan, kue kering atau lainnya, selalu mencoba mencari celah pasar tanpa dibantu orang lain.
Mengapa kita tidak menjual Riau ini satu paket sekaligus? Mengapa lembaga pemerintahan, lembaga perekonomian, lembaga pendidikan, sampai pengusaha besar dan kecil, tidak bahu-membahu? Sama-sama berjuang untuk sebuah penjualan kolektif?
Lalu, saya teringat pada helat besar tahun lalu; Festival Budaya Melayu Sedunia. Ketika itu, Pekanbaru kedatangan ratusan tamu dari mancanegara. Selain kedatangan mereka untuk acara budaya, mereka juga datang untuk jalan-jalan, menikmati masakan Pekanbaru, tempat pelancongan dan oleh-oleh dari Kota Bertuah ini. Hotel pun penuh, Alam Mayang dan Danau Buatan pun jadi ramai. Pusat perbelanjaan juga mendapat pembeli tambahan. Supir taksi? Ya, mereka juga ketiban durian runtuh. Bahkan, Pekanbaru sendiri berkesempatan meluncurkan program City Tour.
Tidak inginkah kita mengulang kisah sukses itu? Sepertinya kita mesti berkaca pada negara tetangga Malaysia. Negara Datuk ini memang sengaja menyiapkan objek wisata khusus even. Mereka menyebutnya wisata belanja. Dilangsungkan tiga kali dalam setahun. Ada program big sale yang jadi maskot. Di berbagai pusat perbelanjaan, dipampangkan logo yang menyatakan bahwa Malaysia sedang ada program penjualan besar-besaran. Logo dan iklan itu tidak hanya dipampang di Malaysia, melainkan sampai ke negara-negara tetangga dan negara maju lainnya.
Jakarta pun begitu. Mereka punya even bulan kunjungan wisata. Isinya, juga ada Jakarta Great Sale. Selama sebulan penuh tiap tahun, Jakarta menggelar pesta diskon. Hampir semua pusat perbelanjaan, ikut dalam program ini. Gerai-gerai di mal dan plaza Jakarta, secara serentak menggantung pamflet diskon. Mulai hanya 10 persen, sampai besar-besaran hingga 80 persen.
Hasilnya? Plaza Senayan, Plaza Indonesia, Mal Karawaci, Mal Ciputra, Mal Taman Anggrek hingga plaza-plaza kelas menengah lainnya, dipenuhi pengunjung. Tentu, selain hanya memilih dan memilah, kebanyakan mereka akan membeli.
Seiring dengan bulan wisata itu, Jakarta juga mengadakan berbagai pesta rakyat. Sebut saja Festival Kemang yang banyak dinanti-nanti itu. Begitu juga pasar malam Jalan Jaksa. Bila festival dan pasar malam itu sudah dibuka, hampir semua turis berbondong-bondong ke sana. Khusus untuk Kemang, sebagian turis malah sengaja menetap di sana. Di rumah-rumah penduduk yang jauh dari kesan glamour Jakarta.
Apakah Riau tidak bisa berbuat seperti Malaysia dan Jakarta? Bisa kok. Saya pikir, Riau punya beragam even besar yang bisa dijual. Sebut saja Pacu Jalur Telukkuantan, Pacu Sampan Antarbangsa di Buluh Cina, Mandi Balimau dan Hari Raya Puasa Enam di Kampar. Atau, mengapa kita tidak sengaja menciptakan sebuah bulan wisata saja?
Agar acara besar kita itu kelihatan lebih besar, bukankah akan lebih baik kalau dikemas dalam satu paket yang lebih wah, meriah dan murah? Contohnya, ketika pesta pacu jalur di Telukkuantan pada bulan Agustus, pemerintah mengumumkan bahwa Riau sedang berpesta. Dalam paket ini dimasukkan pula pesta diskon besar-besaran di mal dan plaza, harga khusus kamar hotel, pelayanan penuh senyum di bandara dan pelabuhan, kemudahan mencari toilet di sepanjang jalan lintas, kemudahan mencari makanan tradisional dan oleh-oleh untuk dibawa pulang. Dan lain sebagainya.
Jadi, yang untung bukan hanya masyarakat Telukkuantan. Mal dan plaza di Pekanbaru juga ketiban rezeki, biro travel juga banyak pelanggan, pedagang kecil lebih bisa bernafas. Okupansi di hotel penuh, jasa penerbangan semakin bergairah, dan lain sebagainya.
Bukankah ini juga berarti kita membuat sebuah paket hemat (bagi kita), tapi meriah dan wah (dan tetap mewah-meriah) bagi para turis? Ya, hitung-hitung seperti paket two in one, three in one atau ten in one-lah.***






























Mengapa mereka senang berada di tengah permukiman warga kebanyakan itu? Bukan di hotel? Tampaknya Jakarta terus berusaha menggabungkan sistem pariwisata jajan dan jalan. Di sepanjang Jalan Jaksa dan Kemang, kawasan yang diciptakan memang diusahakan jauh dari kebisingan kendaraan umum. Bila Anda ingin masuk ke Jalan Jaksa, cukup berjalan kaki atau naik motor saja. Bila membawa mobil, bisa dipastikan kendaraan Anda tidak akan ikut serta masuk.
Setiap sore atau pagi, kita akan menemukan puluhan orang asing berjalan-jalan di tempat ini. Atau, kita akan sering mendengarkan sapaan tilu ‘’selamat pagi’’ atau ‘’selamat sore’’ dari turis mancanegara yang duduk-duduk santai di serambi rumahnya. Jumlah para turis ini akan lebih banyak bila malam tiba. Mereka menyerbu penjual jajanan di sepanjang kawasan itu. Mulai ketoprak, soto Betawi, es dawet atau juga kerak telor. Ya, makanan kampung.
Sedangkan Kemang, kawasan ini dikenal sebagai kota dengan bangunan tua. Ratusan rumah di sana kebanyakan berumur di atas 100 tahun. Uniknya, pemerintah sangat melarang merusak bangunan tua itu. Bahkan, Pemprov DKI tidak segan-segan mengusut seorang pejabat tinggi bila mencoba merusak bangunan tua , sekalipun itu rumahnya sendiri. Perlu izin khusus bagi seseorang bila ingin memugar rumahnya, termasuk bila hanya sekadar memperbaiki dapur.
Kapan Pekanbaru mengikuti jejak langkah Malaysia dan Jakarta? Sudah siapkah kita mempertahankan bangunan-bangunan tua yang masih ada itu agar tetap seperti aslinya? Siapkah kita menyembahkan kepada para tetamu sebuah kawasan yang tidak bising, jalanan yang lapang dan jajanan yang memang khas?

0 komentar: