Selasa, 11 Maret 2008

Temberang Dr M dan Pemilu 2008 Malaysia

Malaysia berubah. Garis kebijakan nampaknya bakal bergeser dari titik koordinat lama. Ini tak terlepas dari hasil pemilihan raya (Pemilu) yang diadakan Sabtu (8/3) lalu. Bagaimana tidak, Barisan Nasional yang selama ini selalu mendominasi, bahkan selalu mendapatkan 2/3 suara kongres, ternyata pada pemilihan kali ini ”jatuh tapai”. Sebaliknya, partai oposisi menang besar.

Sesungguhnya, Barisan Nasional tetap menang. Mereka belum terkalahkah sejak didirikan 1 Juli 1974 lalu. Hanya saja, Pemilu 2008 ini adalah yang terburuk dalam sejarah pencapaian mereka. Indikasinya, bila Pemilu 2004 mereka berhasil menguasai 199 kursi dari 219 kursi, atau lebih dari 2/3 dari total kursi yang diperebutkan, maka pada Pemilu 2008 ini, mereka hanya meraih 140 kursi dari total 222 kursi yang diperebutkan. Sedangkan partai-partai oposisi justru melakukan lompatan besar. Jika tahun 2004 mereka hanya mendapat 20 kursi, maka di tahun 2008 mereka langsung meraup 82 kursi.



Bagi Barisan Nasional, Pemilu 2008 ini menjadi pukulan telak yang sangat memalukan. Ini tentu saja tidak terlepas dari gegabahnya Barisan Nasional dan progresifnya oposisi. Seperti diketahui, pelaksanaan Pemilu kali ini pun terkesan agak dipercepat. Apalagi setelah timbul ketegangan, demonstrasi besar-besaran, harga-harga yang meroket, dan stabilitas yang tidak terjaga. Pernyataan Badawi yang rasial dan melecehkan salah satu etnis di Malaysia, menjadi pemicu letup gelombang instabilitas itu. Pemimpin Barisan Nasional yang juga PM Malaysia itu juga dianggap paling bertanggung jawab.

Barisan Nasional memang cerita miris di Malaysia saat ini. Para petinggi Barisan Nasional, terutama Mahathir Mohammad yang dinilai sukses 22 tahun memimpinnya, jadi temberang. Dia menuding dan memaksa Pak Lah, pangilan Abdullah Ahmad Badawi, bertanggung jawab 100 persen. Mahathir juga merasa bersalah dan terbawa dalam rasa sedih mendalam karena menunjuk Pak Lah, bukan yang lain.

Rasa bersalah itu memang sudah datang terlambat. Ketika Dr M, julukan Mahathir Mohammad menyerahkan estafet United Malay Nation Organisation (UMNO), motor utama penggerak Barisan Nasional kepada Pak Lah, hampir semua orang merasa pesimistis. Mengapa tidak kepada Najib Razak, yang dikenal lebih piawai dan disegani? Mengapa harus kepada Pak Lah yang dikenal terlalu santun dan tidak tegas?

Sebenarnya kalau dirunut ke belakang, rasa bersalah Dr M itu bisa berpangkal pula kepada keputusannya untuk menawan, mempermalukan, dan menghukum Anwar Ibrahim; orang yang paling dipercayanya sebelum Pak Lah dan Najib Razak. Keputusannya menghukum Anwar ini pula yang menjadi bumerang bagi UMNO, dan tentu saja Barisan Nasional. Bukankah hasil sangat positif yang diraih oposisi di Pemilu 2008 ini berkat terzalimnya Anwar Ibrahim? Bukankah perjuangan militan Anwar, rasa tak menyerah Wan Azizah, dan pesona mendalam Nurul Izzah, telah menjadi cahaya yang menerangi hati pemilih Malaysia tentang betapa rapuhnya Barisan Nasional?

Kini, Malaysia memang sudah menjalani takdirnya. Barisan Nasional dipungkang dari segala arah, menuai malu luar biasa. Oposisi kini bersorak gembira karena suara mereka sudah didengar rakyat Malaysia. Kita tunggu saja, seperti apa Malaysia setelah berubah. Apakah masih akan menjadi negara yang penuh pesona dan salah satu kekuatan utama di Asia Tenggara?***

Selengkapnya...

Senin, 03 Maret 2008

Ironi Urip Tri Gunawan

Wajah Jaksa Agung Hendarman Supandji tampak murung. Wajahnya berkaca-kaca. Dari tirus wajahnya terlihat betapa dia sangat kecewa. Bagaimana tidak, di tengah semangatnya yang membara memberantas korupsi di Indonesia, di saat itu pula salah satu anggota timnya yang diduga kuat melakukan praktik korupsi. Tentu saja ini tamparan yang paling keras bagi mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini. Anak buahnya sudah membuat aib dan membuat malu tidak kepalang tanggung.

Adalah Urip Tri Gunawan, jaksa yang ditugasi sebagai Koordinator Jaksa Penyelidik Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang membuat ulah. Jaksa yang bertugas di Keja­gung ini ditang­kap Komisi Pemberantasan Ko­rup­si (KPK), Ahad (2/3). Dia tertang­kap basah bersama barang bukti berupa uang senilai 600 ribu dolar AS (setara Rp5,4 miliar, kurs 1 dolar AS = Rp9.000). Dia dipergoki se­da­ng menerima suap dari seseorang berinisial AS yang diduga terkait penghentian penyeli­dikan kasus BLBI di Gedung Bundar, Kejak­saan Agung (Kejagung).



Tertangkapnya Urip akan menjadi bau busuk yang menghilangkan selera makan orang lurus di Indonesia. Di saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono nyaris didaulat sebagai pemerintahan yang paling jumawa memberantas korupsi, di saat itu pula seorang pemberantas korupsi diduga kuat telah melakukan korupsi. Padahal, sesuai laporan Kejagung, Urip adalah salah satu dari 35 jaksa daerah terbaik di Indonesia dan pernah menjadi Kepala Kejaksaan Negeri di Klu­ngkung, Bali. Kalau jaksa terbaiknya saja bisa bermain seperti ini, bagaimana pula dengan ribuan oknum jaksa yang dikenal nakal dan melakukan praktik dagang sapi peradilan?

Masyarakat memang penuh harap dengan tim pemberantas korupsi di Indonesia saat ini. Jaksa, apalagi Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah pihak yang sangat ditakuti, sekaligus pulau harapan atas mandulnya proses korupsi selama ini. Karena kepercayaan dan pengharapan itu pula, penegak hukum seperti Urip selalu dikaitkan dengan kepercayaan. Mungkin, harapan itu terlalu berlebihan. Indonesia memerlukan seseorang yang bersih, suci tanpa noda. Orang-orang seperti malaikat yang mampu menegakkan hukum dan berani melawan kekerasan, tekanan, ancaman, dan juga sogokan.

Dan, ternyata Urip bukan malaikat. Bukan orang yang pantas untuk kedudukan itu. Kalau dia bisa jumawa menyeret penjahat ke meja hijau, melawan tekanan dan ancaman dari penjahat kerah putih, ternyata di tak cukup kuat menolak sogokan. Apalagi jumlahnya mencapai Rp5,4 miliar. Sebuah bilangan yang belum tentu sebanyak gajinya selama masa bekerja di Kejagung.

Uang memang membuat semua orang gelap mata. Uang juga pangkal musibah. Orang baik bisa menjadi buruk karena uang. Orang bersih bisa menjadi ternoda dan terhina karena uang juga.

Kembali ke ekspresi Hendarman Supandji, nampaknya dia layak untuk terpukul, terhina, dan terbebat dalam sedih yang mendalam akibat ulah anak buahnya. Padalah, sejak awal dia sudah sampaikan kepada anggotanya, penanga­nan kasus korupsi, termasuk kasus BLBI, mirip masuk ke hutan belantara yang banyak memedi (hantu). Makanya, dia harus mencari jaksa yang tahan banting. Dan, dia sudah menemukan beberapa. Sayang, salah satu dari mereka sudah tidak tahan banting lagi. Urip telah kalah dalam gelanggang yang disediakan pemerintah. Urip terbawa dalam arus permainan tanpa mendengarkan arahan sutradara. Urip melupakan perannya, merupakan ketokohannya. Dan, film yang disiapkan Hendarman Supandji ternoda.

’’Saya sangat kecewa. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga,’’
Kalimat itu diucapkan Hendarman Supandji terbata-bata. Dia sesenggukan. Dia terbawa dalam sedih yang mendalam.

Memang, Hendarman pantas kecewa. Masyarakat Indonesia juga pantas kecewa. Ini adalah pembelajaran bagi kita; bahwa penjahat kerah putih masih terlalu berkuasa.***

Selengkapnya...