Senin, 03 Maret 2008

Ironi Urip Tri Gunawan

Wajah Jaksa Agung Hendarman Supandji tampak murung. Wajahnya berkaca-kaca. Dari tirus wajahnya terlihat betapa dia sangat kecewa. Bagaimana tidak, di tengah semangatnya yang membara memberantas korupsi di Indonesia, di saat itu pula salah satu anggota timnya yang diduga kuat melakukan praktik korupsi. Tentu saja ini tamparan yang paling keras bagi mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini. Anak buahnya sudah membuat aib dan membuat malu tidak kepalang tanggung.

Adalah Urip Tri Gunawan, jaksa yang ditugasi sebagai Koordinator Jaksa Penyelidik Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang membuat ulah. Jaksa yang bertugas di Keja­gung ini ditang­kap Komisi Pemberantasan Ko­rup­si (KPK), Ahad (2/3). Dia tertang­kap basah bersama barang bukti berupa uang senilai 600 ribu dolar AS (setara Rp5,4 miliar, kurs 1 dolar AS = Rp9.000). Dia dipergoki se­da­ng menerima suap dari seseorang berinisial AS yang diduga terkait penghentian penyeli­dikan kasus BLBI di Gedung Bundar, Kejak­saan Agung (Kejagung).



Tertangkapnya Urip akan menjadi bau busuk yang menghilangkan selera makan orang lurus di Indonesia. Di saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono nyaris didaulat sebagai pemerintahan yang paling jumawa memberantas korupsi, di saat itu pula seorang pemberantas korupsi diduga kuat telah melakukan korupsi. Padahal, sesuai laporan Kejagung, Urip adalah salah satu dari 35 jaksa daerah terbaik di Indonesia dan pernah menjadi Kepala Kejaksaan Negeri di Klu­ngkung, Bali. Kalau jaksa terbaiknya saja bisa bermain seperti ini, bagaimana pula dengan ribuan oknum jaksa yang dikenal nakal dan melakukan praktik dagang sapi peradilan?

Masyarakat memang penuh harap dengan tim pemberantas korupsi di Indonesia saat ini. Jaksa, apalagi Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah pihak yang sangat ditakuti, sekaligus pulau harapan atas mandulnya proses korupsi selama ini. Karena kepercayaan dan pengharapan itu pula, penegak hukum seperti Urip selalu dikaitkan dengan kepercayaan. Mungkin, harapan itu terlalu berlebihan. Indonesia memerlukan seseorang yang bersih, suci tanpa noda. Orang-orang seperti malaikat yang mampu menegakkan hukum dan berani melawan kekerasan, tekanan, ancaman, dan juga sogokan.

Dan, ternyata Urip bukan malaikat. Bukan orang yang pantas untuk kedudukan itu. Kalau dia bisa jumawa menyeret penjahat ke meja hijau, melawan tekanan dan ancaman dari penjahat kerah putih, ternyata di tak cukup kuat menolak sogokan. Apalagi jumlahnya mencapai Rp5,4 miliar. Sebuah bilangan yang belum tentu sebanyak gajinya selama masa bekerja di Kejagung.

Uang memang membuat semua orang gelap mata. Uang juga pangkal musibah. Orang baik bisa menjadi buruk karena uang. Orang bersih bisa menjadi ternoda dan terhina karena uang juga.

Kembali ke ekspresi Hendarman Supandji, nampaknya dia layak untuk terpukul, terhina, dan terbebat dalam sedih yang mendalam akibat ulah anak buahnya. Padalah, sejak awal dia sudah sampaikan kepada anggotanya, penanga­nan kasus korupsi, termasuk kasus BLBI, mirip masuk ke hutan belantara yang banyak memedi (hantu). Makanya, dia harus mencari jaksa yang tahan banting. Dan, dia sudah menemukan beberapa. Sayang, salah satu dari mereka sudah tidak tahan banting lagi. Urip telah kalah dalam gelanggang yang disediakan pemerintah. Urip terbawa dalam arus permainan tanpa mendengarkan arahan sutradara. Urip melupakan perannya, merupakan ketokohannya. Dan, film yang disiapkan Hendarman Supandji ternoda.

’’Saya sangat kecewa. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga,’’
Kalimat itu diucapkan Hendarman Supandji terbata-bata. Dia sesenggukan. Dia terbawa dalam sedih yang mendalam.

Memang, Hendarman pantas kecewa. Masyarakat Indonesia juga pantas kecewa. Ini adalah pembelajaran bagi kita; bahwa penjahat kerah putih masih terlalu berkuasa.***

1 komentar:

Hendrawan Kariman mengatakan...

Omak.. itu yo du ye..
kslsu macam tu baru mantap ocu deyen ko.

Selamat berkarya bang, wartawan yang hebat mampu berkreasi di dunia maya.

Salut bang Saidul!

dari Hendrawan CCMD di Pekanbaru! Riau