Kamis, 28 Februari 2008

’’Belah Dada Saya, Disana Ada Sejuta Burung Garuda’’

Berkunjung ke Pulau Terluar, Menjelang HUT Ke-61 Indonesia
’’Belah Dada Saya, Disana Ada Sejuta Burung Garuda’’

Menjelang HUT ke-61 kemerdekaan Indonesia, rasa nasionalisme kembali diuji. Masihkah burung garuda terbang rendah dan singgah di hati penghuni bumi Indonesia?

Laporan SAIDUL TOMBANG, Rupat
saidultombang@riaupos.com

Pantai Rupat, Kamis (10/8) petang. Pasir pantai membentang panjang. Putih, bersih, dan dipenuhi umang-umang. Binatang kecil itu kadang membuat konfigurasi, memerahkan sebagian bidang pantai yang landai. Berkali-kali dihempas ombak, dia tak kunjung beranjak. Dari kejauhan, ombak selatan Selat Melaka membawa angin basah; menampar-nampar wajah, menggerai-gerai mayang di kepala.



Pantai Rupat yang damai. Orangnya tak ramai. Pantai ini hanya dijejali orang ramai pada bulan Shafar saja, saat mereka melakukan ritual mandi Shafar. Selebihnya, yang ada hanya perahu nelayan yang tersadai ketika siang, burung yang terbang rendah dan mematuk umang-umang, dan selebihnya hanya sunyi.

Penduduk Rupat tak lagi ingin berandai-andai. Ya, andai di sini ada cottage, andai di sini banyak turis, andai penduduknya bisa hidup berada, andai saja mereka bisa bebas ke Malaysia, andai pemerintah Indonesia tahu betapa pahitnya saat bertetangga dengan orang kaya. Andai saja pemerintah Indonesia memenuhi satu dari sekian jumlah janji mereka. Ya, andai saja, hmm…

’’Kami sudah muak dengan janji-janji pemerintah. Katanya ingin membangun jembatanlah, mengembangkan potensi wisatalah, bangun cottage-lah. Mana? Mana realisasinya? Sampai kini Rupat tetap saja pulau yang dipenuhi janji-janji,’’ kata Misliadi, tokoh pemuda Pulau Rupat yang sedang menyelesaikan studi magisternya di Universty Kebangsaan Malaysia (UKM).

Pantai Rupat berhadap-hadapan dengan daratan negeri Malaya. Jika beruntung, pada saat-saat tertentu warga Rupat bisa menatap perbukitan bumi Malaysia dengan mata telanjang. Jarak yang memisahkan mereka tak terlalu panjang. Tak sampai satu jam naik speed boat, atau maksimal 2,5 jam naik perahu motor pompong. Karena kedekatan itu pula, mereka seperti saudara. Bahasa hampir sama, kesukaan juga tak jauh beda. Untuk sekadar membeli daging ayam, sayur-mayur, atau sarden sekaleng, warga Rupat bisa mendapatkan dari Malaysia. Untuk rujukan berobat, membeli keperluan pesta, atau keperluan jenis apapun, Malaysia ternyata lebih praktis dan ekonomis. Maka tak heran kalau sampai saat ini mata uang Ringgit masih berlaku untuk urusan jual beli. Sepeda motor dan beragam produk made in Malaysia masuk ke Rupat tanpa harus melalui proses di bea cukai.

Berhubungan dengan Malaysia menjadi pilihan utama dibanding Indonesia. Sekadar gambaran geografis, untuk mencapai Dumai, kota tetangga yang paling maju di pantai pesisir Riau, diperlukan waktu minimal lima jam naik pompong, atau 2,5 jam naik speed boat. Padahal, untuk mencapai Melaka mereka hanya memerlukan waktu setengahnya saja.

Perhatian Indonesia
Luas Pulau Rupat tiga kali luas Provinsi DKI Jakarta. Namun penduduknya tak sampai seperseratus jumlah penduduk Jakarta. Sebelum tahun 2000, saat otonomi daerah belum diberlakukan, tak ada jalan yang disemen lebih dari dua meter, tak ada sekolah lanjutan negeri, tak ada alat komunikasi, dan listrik hidup hanya di malam hari.
Sebenarnya, sejak awal tahun 1990-an, pemerintah sudah menjadikan Rupat sebagai buah bibir. Pulau terluar Indonesia ini akan dijadikan garda terdepan untuk kemajuan. Di sana akan membentang jalan tol (highway), sebuah jembatan terpanjang di Asia Tenggara akan menghubungkan Rupat dengan Malaysia, juga Rupat dengan Sumatera. Malah, beberapa pejabat istana dan orang-orang Cendana disebut-sebut telah mengapling tanah.
Di awal otonomi daerah, Rupat kembali dininabobokan dengan potensi wisatanya. Katanya, Rupat lebih indah dari Bali, lebih bersih dari Bunaken, lebih strategis dari hampir semua pantai di Indonesia. Di sana akan dibangun cottage, sentra-sentra produksi wisata. Penduduknya akan diajari berbahasa Inggris untuk menyambut kedatangan wisatawan. Dan, sekali lagi, masyarakat Rupat dibuai dengan mimpi tentang indahnya kemajuan, dan gemerincing uang ringgit atau helaian uang dolar.
Sampai kini, Rupat masih seperti yang lalu. Tak ada perubahan signifikan di negeri penuh janji itu. Jalanan dengan lebar enam meter tak sampai tiga kilometer. Tak ada kendaraan roda empat. Di sana listrik hanya bisa hidup di malam hari. Ada beberapa sekolah negeri, namun tak dilengkapi dengan fasilitas sewajarnya.

Parahnya, masyarakat Rupat tak bisa mengenal Indonesia dengan baik, termasuk mengenali provinsinya sendiri; Riau. Mereka seperti terputus hubungan dengan provinsi dan negeri ini. Bukan mereka tak mau, tapi memang fasilitas untuk mereka tak ada. Layar televisi atau siaran radio yang masuk ke bilik-bilik rumah mereka rata-rata siaran Malaysia. Cukup dengan meletakkan antena biasa satu meter dari atap rumah, maka siaran dari enam televisi Malaysia dan Singapura, bisa dilihat di layar kaca dengan jelas. Sedangkan televisi Indonesia?
’’Di Rupat Utara yang terdiri dari 2.288 rumah, hanya 30 rumah saja yang memakai parabola. Rumah yang 30 itulah yang bisa menangkap siaran Indonesia,’’ kata Suparman S Sos, Camat Rupat Utara kepada Riau Pos, Kamis (10/8).

Karena terputusnya informasi itu pula, akhirnya Indonesia termasuk dalam daftar negara asing bagi mereka. Mereka baru bisa mengenal negeri ini melalui televisi negara tetangga. Tsunami di Aceh atau gempa di Jogja mereka ketahui dari TV3 Malaysia.

Tentu saja, karena setiap hari disodori siaran televisi Malaysia, negeri Ringgit itu begitu familiar di hati mereka. Maka tak salah, ketika di sebuah sekolah dasar di sana, seorang murid ditanya tentang siapa Presiden Indonesia, sang anak akan menjawab; ’’Presiden Indonesia Ahmad Badawi (Perdana Menteri Malaysia, red).’’
’’Jangan salahkan anak-anak kami kalau lebih mengenal Ahmad Badawi dibanding Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Karena setiap hari mereka hanya melihat Ahmad Badawi. Sedangkan Presiden SBY hanya mereka dengar sekali-sekali,’’ kata Suparman.
Karena itu pula, Suparman meminta pemerintah agar segera membangun minimal satu pemancar televisi yang akan merelay siaran televisi Indonesia. Paling tidak, ini akan mampu meredam ketidaktahuan anak-anak terhadap Indonesia.
Ketika Indonesia Raya Berkumandang

Siang itu, Kamis (10/7), di gedung Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau Kecamatan Rupat. Puluhan orang berkumpul. Di barisan depan, ada drg SW Pujiastuti. Perempuan mungil yang manis ini adalah Direktur Potensi Sumber Daya Manusia (SDM) pada Direktorat Jenderal (Dirjen) Potensi Pertahanan di Departemen Pertahanan (Dephan) Indonesia. Di sampingnya duduk Said Amir Hamzah SKM, Kepala Badan Informasi dan Komunikasi (Infokom) dan Kesatuan Bangsa Provinsi Riau. Di gedung yang baru dibangun itu, juga hadir camat, kepala desa, dan unsur masyarakat lainnya.

Pujiastuti memang datang mendadak pada hari itu. Ini merupakan kunjungan tidak resmi, namun sesungguhnya punya makna. Momennya pun pas; yaitu menjelang detik-detik peringatan HUT ke-61 kemerdekaan Indonesia. Paling tidak, Pujiastuti ingin mengadakan antitesis tentang rasa nasionalisme warga yang mendiami pulau terluar Indonesia itu. Apakah merah putih masih berkibar di hati mereka? Apakah burung garuda masih kekar di pemikiran warga Rupat? Apakah Indonesia masih menjadi daging dan darah yang mengalir di setiap nadi mereka?

Dan, di awal pertemuan itu sebuah rekaman dari video compact disc (VCD) diputar di gedung LAM. Lagunya? Indonesia Raya. Dengan klip yang menggambarkan betapa perlunya mencintai Indonesia; plus teks lagu yang memudahkan pembaca, lagu itu pun dimulai. Indonesia tanah airku/tanah tumpah darahaku/di sanalah aku berdiri/jadi pandu ibuku/…
Ada Melayu di sana. Ada suku akit, suku Jawa, Batak, Minang, dan beberapa ras lainnya. Ketika mengumandangkan Indonesia Raya, semua kompak. Hampir tak ada yang salah melafalkan. Bibir mereka bergetar, mungkin karena sudah terlalu lama tidak menyanyikan lagu itu. Rasa heroik dan patriotic mereka sedemikian emosional sehingga ruangan itu penuh dengan gempita.

Pujiastuti memang seorang nasionalis sejati. Sebagai orang penting di Dephan, dia memang sangat berharap kepada masyarakat Rupat, dan masyarakat lainnya yang mendiami pulau-pulau terluar Indonesia.

’’Mereka adalah ujung tombak pertahanan dan keamanan bangsa. Mereka adalah jendela Indonesia menuju negara tetangga,’’ kata Puji.

Sesuai dengan laporan Camat Suparman, dan unsur masyarakat lainnya, memang sangat berat menjadi orang yang tinggal di perbatasan; apalagi ketika harus bertetangga dengan orang yang sudah hidup jaya. Namun, menurut Pujiastuti, di sinilah rasa nasionalisme diuji. Ketika dulu memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, para pejuang juga mengalami masa-masa sulit.

Sama halnya dengan Puji. Said Amir Hamzah juga punya pendapat serupa. Sebagai anak jati pulau Rupat, Said memberikan semangat agar masyarakat tetap mencintai Indonesia. Kalaupun saat ini pembangunan di sana berjalan lamban, paling tidak pemerintah sudah memberikan perhatian lebih kepada mereka saat ini.
’’Saya tidak ragu dengan kesetiaan masyarakat Rupat terhadap Indonesia. Namun soal pembangunan harus digesa, saya rasa itu adalah hal yang sebenarnya,’’ kata Said.
Lihatlah, Ada Sejuta Garuda!

Soal kesetiaan pada negara Indonesia dan semangat bela negara, kembali disampaikan Pujiastuti saat bertemu dengan puluhan pemuka masyarakat Dumai dan Rupat Selatan, plus Wakil Wali Kota Dumai dr Sunaryo di Dumai, Kamis (10/8) malam. Di sini, harapan Pujiastuti ditanggapi serius oleh masyarakat dan pemuka.
Setidaknya, 15 ketua suku di Dumai hadir dalam kesempatan itu. Hampir semuanya berpendapat senada. Namun jawaban dari Timo Kipda, Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Dumai nampaknya bisa merangkum itu semua.

’’Jangan ragukan kesetiaan kami kepada negara ini. Walaupun sejak puluhan tahun lalu kami mendengarkan siaran dari radio Malaysia dengan film-film P Ramlee, namun Indonesia masih menjadi darah daging kami. Belahlah dada saya, di sana akan ditemukan sejuta burung garuda,’’ katanya heroik.

Burung garuda memang menjadi lambang bangsa, salah satu identitas Indonesia. Timo tahu betul bahwa masyarakat pesisir dan orang yang berdiam di pulau terluar Indonesia sangat setia terhadap Indonesia. Walaupun setiap hari mereka berhubungan dengan orang kaya di Malaysia dan Singapura, namun di darah mereka masih mengalir semangat cinta Indonesia. Walaupun, ya walaupun Indonesia sudah teramat sering melupakan mereka.***

0 komentar: