Senin, 18 Februari 2008

Catatan Akhir Pekan

Manai

Orang kampung, dulu, suka membaca surat Yaasin. Baik bila ada kenduri atau takziah. Tapi ada juga yang membaca Yaasin untuk men-doakan sesuatu. Salah satu yang terkenal saat itu adalah doa agar seorang zhalim terkena manai. Biasanya masyarakat berkumpul, minimal 40 orang, baca Yaasin sama-sama, lakukan salat hajat, dan berdoa agar si zhalim itu terkena manai.Manai? Dia sebentuk penyakit seperti gerombolan anai-anai yang menggirik isi munggu. Dari luar, gundukan tanah itu tambah besar dan terlihat seperti keras.


Padahal, isi dalamnya sudah berongga, dan melompong karena digerogoti anai-anai. Perut orang zhalim yang dibacakan Yaasin juga seperti itu; mem-besar, berkaca-kaca, keras, ususnya melilit, darah menjadi nanah, dan suatu saat bisa meletus!Mengapa dia terkena manai? Biasanya hukuman itu diberikan kepada orang-orang zhalim yang tak mau mengaku atas per-buatannya. Umpamanya, masyarakat mene-mukan harta anak yatim tiba-tiba hilang atau dikorupsi, harta soko dijual tanpa sepengetahuan mamak soko, atau milik masyarakat umum tiba-tiba tidak diketahui lesapnya di mana. Kalau tak ada yang mau mengaku, diambil kesimpulan secara aklamasi untuk melakukan sumpah manai tersebut.



Biasanya, sebelum sumpah manai dilakukan, si pelaku bakal mengaku.Sekarang, banyak orang memakan barang yang bukan haknya. Sebagian mereka masih menggunakan metode ancient, yaitu mema-kannya secara sembunyi-sembunyi. Tapi sebagian besar malah memakannya secara terang-terangan. Bukan melakukan korupsi di bawah meja, tapi mengorupsi uang bersama mejanya sekaligus. Kadang-kadang terkesan legal dan sesuai hukum, padahal tak lebih dari seorang pencuri, tepatnya perampok.Kita bisa melihat, bulan-bulan terakhir pihak penyidik, baik dari kejaksaan, Komisi Pem-berantasan Korupsi (KPK), dan kepolisian, berlomba melakukan pemeriksaan terhadap penggerus uang yang bukan miliknya. Ribuan triliun uang negara yang nota benenya uang rakyat, harus lebur di perut orang-orang yang harusnya disumpah manai.

Ternyata, walau setiap hari pihak penyidik melakukan peme-riksaan, tampaknya jumlah orang-orang yang layak disumpah manai semakin banyak saja. Seakan tak habis-habis.Indonesia memang negeri teruk. Jumlah utang menumpuk. Orang-orang yang mengambil keuntungan pribadi dengan mengorbankan orang banyak, berderet-deret sepanjang tali beruk. Mulai kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), sampai kasus-kasus kecil seperti pengadaan tali beruk. Kasus manai ini seperti sarang anai-anai, berkamar-kamar, kecil-kecil, dan sulit dicari di mana ujungnya karena dia mirip sebuah labirin prisma.Manajemen keuangan Indonesia memang perlu belajar dari manajemen keuangan masjid.

Uang serupiah pun, dihitung, dicatat, dan dipampangkan secara lugas. Setiap Jumat diumumkan, berapa uang masuk, berapa pula uang keluar. Beli satu gayung pun disebutkan. Dapat derma lima ratus rupiah pun disampaikan. Di sinilah peran akuntan pubik benar-benar bejalan. Karena, yang menjadi akuntan benar-benar dari publik; orang banyak. Bukan akuntan publik yang bisa dibayar!Andai saja, keuangan Indonesia dijalankan dengan lugas dan jelas seperti manajemen keuangan masjid, tentu saja persoalan moneter bangsa tidak akan seperti ini. Karena, di tengah publik, siapa saja yang tidak mau mengaku memakan harta yang bukan miliknya, bisa disumpah. Sumpah manai. Perut membengkak, berkaca-kaca, mengeras, usus membelit, darah menjadi nanah, dan suatu saat akan meletus.Adakah obligor yang mampu menahan penyakit manai?***

0 komentar: