Senin, 07 Januari 2008

Feature

Di Laut Kita Kalah

Perbantahan itu sudah terlalu lama. Darah tumpah, kapal pecah, dan nyawa pun sudah menjadi semah. Masih mau menunggu apa?

Penghujung petang yang cerah, Kamis, 24 April 2006. Riak laut Telukpambang, Bengkalis, keperak-perakan ditimpa sisa raja siang. Ratusan kapal kecil milik nelayan rawai, nampak terombang-ambing tertambat tak jauh dari bibir pantai. Beberapa lelaki nampak membuat tumpukan kayu. Menyiramnya dengan minyak, menyulutkan api, dan remang petang perlahan dijilat lidah api yang benderang.
Seseorang membawa ikan kurau ke dekat api unggun. Ikan itu masih segar ketika disisik, masih menggelepar saat perutnya dibelah. Dan, ikan yang menjadi buah bibir itu pun membiaskan harum semerbak saat terpanggang di dalam apitan pelepah kelapa. Mereka pun bersorak. Sebagian kaum wanita bernyanyi dan menari. Inilah pesta kecil nelayan di tepi pantai. Sebuah pesta untuk menghibur hati yang terluka.
Terluka? Nampaknya ini masih belum cukup menggambarkan suasana hati mereka. Empat hari sebelum pesta kecil itu, kapal milik M Ali (32) pecah ditabrak kapal milik nelayan jaring batu. Yang tertinggal hanyalah tudungnya saja. Tak cukup kapal yang pecah, M Ali dan dua rekannya Burhan dan Majid yang saat itu sedang mencari umpan untuk merawai, juga remuk dipelasah para nelayan jaring batu.
Kejadian ini membangkitkan kembali luka masa lama yang berderet seperti mata kail di tali rawai. Selama 23 tahun, mereka terbabit dalam sebuah konflik yang tak berkesudahan dengan nelayan jaring batu. Nelayan rawai yang bermarkas di Bantan tidak mengizinkan jaring batu beroperasi di ’’laut mereka’’ dari Tanjungjati ke Tanjungsekodi. Sementara nelayan jaring batu yang bermarkas di Rangsang, Tanjungbalaikarimun, Kedaburapat, dan beberapa tempat lainnya, tetap bersikukuh ingin melaut di sana.
Sampai pertengahan tahun 2006, sudah lebih dari seratus kali mereka bertelagah di tengah laut, perang mulut di meja perundingan, atau adu argumen di mata hukum. Sudah tak terbilang seberapa banyak darah yang tumpah, tangan yang patah, telinga yang koyak, kepala yang dibelah, kapal nelayan rawai yang pecah, kapal nelayan jaring batu yang dibakar, rawai yang ditetas, dan jaring batu yang jadi abu. Puncak semua itu terjadi Kamis (15/6) lalu, ketika Sodiq alias Kacam alias Syamsul Bahri bin Karim (33), warga Desa Tanah Merah Kecamatan Rangsang Barat, menemui ajal. Dia dipancung oleh sekelompok orang yang diduga kuat nelayan rawai. Kepalanya ditemukan terapung, sementara jasadnya disapu ombak dan baru ditemukan empat hari kemudian oleh nelayan Kedaburapat.
***
Konflik ini sudah terlalu lama. Bagi nelayan rawai yang sering disebut nelayan tradisional, kisah pedih ini telah mengubah ritme kehidupan warga yang menggantungkan hidup di garis laut Tanjung Jati ke Tanjung Sekodi ini, menjadi lebih keras. Irama perang dan amis darah seakan sudah menjadi hal yang sangat biasa. Mereka benar-benar tegas dalam bersikap. Sekali menolak jaring batu sejak tahun 1983, suara itu tidak pecah hingga sekarang. Karena keteguhan sikap itu pula, Desa Parit Tiga Teluk Pambang sering dijuluki sebagai ’’Aceh Kedua’’. Bagaimana tidak, warga sempat menghadang kedatangan rombongan Kapolres Bengkalis beberapa waktu lalu dengan panah-panah beracun.
Konflik ini ikut pula yang membuat ekonomi mereka jalan surut. Maklum, konflik ini telah menghadirkan ketidaknyamanan dalam melaut. Kadang, beberapa pekan mereka tak melaut karena takut diburu nelayan jaring batu. Bila tak melaut, dapur pun tak berasap. Dan, utang pun akan menggunung di kedai-kedai.
Ikutilah penuturan Sidah, istri nelayan Rasyid kepada Riau Pos beberapa waktu lalu:
’’Kalau bapak turun ke laut dan tak dapat ikan, itu tandanya nelayan jaring batu sudah masuk duluan. Bila mereka sudah masuk, ikan itu habis disepah mereka. Kita jangankan dapat ikan kurau, dapat ikan seekor pun kadang payah. Sekarang hutang di kedai menumpuk. Kadang kami sampai dua tiga hari makan rebus pisang muda. Untuk anak-anak kami yang masih kecil, terpaksa kami parutkan ubi kayu dan dikukus. Datanglah ke rumah kami yang sudah lapuk itu. Kalau hujan tiris, selimut dan kasur pun berkepam. Tak ada perabot barang sepatah pun.
Tak banyak pinta kami. Yang penting jaring batu tu jangan dipakai di sini. Kalau nak melaut, pakai saja rawai macam yang kami pakai. Kalau nak pakai jaring batu juga, jangan gunakan itu di laut kami; mulai dari Tanjungjati sampai ke Tanjungsekodi. Ini adalah kebun kami untuk menyambung kehidupan…’’
Apa yang diungkapkan Sidah, sesungguhnya telah menjadi representasi keresahan seluruh masyarakat. Seperti yang disaksikan Riau Pos, Rabu (21/6) di Desa Parit Tiga Pambang, hampir seluruh kapal kecil mereka tambat di tepi pantai. Tak ada yang melaut. Jaminan keamanan, terutama setelah kejadian pemancungan kepala itu. Di darat pun, sesungguhnya mereka dicekam ketakutan yang luar biasa. Setiap hari, ada puluhan orang yang diduga intel keluar masuk kampung mencari siapa saja yang bisa dianggap sebagai tersangka pembunuhan itu.
***
Sekali lagi, konflik ini sudah berlaku sangat lama. Sebenarnya, apa yang melatarbelakangi sikap keras warga Bantan?
Sidiq, salah seorang tokoh masyarakat di Telukpambang lalu berkisah. Menurutnya, hanya satu alasan mereka menolak kehadiran jaring batu; yaitu untuk keselamatan dan masa depan laut. Bagaimanapun, kata Sidiq, laut adalah ladang pencaharian. Bila ini tidak dipelihara, laut itu akan rusak dan tidak akan menghasilkan. Bila laut sudah mandul, tentu saja asap daput tidak akan mengebul.
Dan, jaring batu dipercaya sebagai salah satu penyebab rusaknya alam. Sidiq mengatakan bahwa mereka sebagai nelayan tradisional memang tak pernah melakukan studi khusus tentang lingkungan. Namun mereka dapat merasakan, bila nelayan jaring batu sudah datang, ikan kurau pun hilang. Bila pengoperasiannya sudah berlangsung dalam waktu lama, ikan mahal pengganti ikan terubuk itu akan semakin hilang dalam waktu lama.
’’Kami tidak ingin kisah musnahnya ikan terubuk akan berulang kembali. Dengan cara apapun, kami akan tetap melestarikan keberadaan ikan ini,’’ kata Sidiq.
Kisah tragis ikan terubuk memang membawa duka yang mendalam. Bukan hanya bagi masyarakat Bengkalis, namun juga dunia. Ikan mahal, indah, dan flamboyan itu hilang bersamaan dengan rusaknya perairan Bengkalis. Dan, ikan kurau kemudian menjadi alternatif setelah terubuk. Ikan yang dagingnya terasa enak dan renyah ini, memiliki harga jual yang paling tinggi dibanding ikan jenis lain. Di Singapura, ikan ini bisa berharga di atas Rp100 ribu per kilogramnya. Karena harga mahal ini pula, ikan kurau menjadi incaran semua nelayan.
Menurut Sidiq, sebenarnya mereka bisa saja menggunakan jaring batu. Bukan karena tak terbeli. Namun mereka memikirkan jauh ke depan. Kalau sekarang mereka gunakan alat tangkap itu, mungkin dua atau tiga tahun ke depan tidak akan ada lagi ikan kurau atau ikan lainnya yang berharga mahal. Lalu, mereka pun akan menganggur. Tak ada lagi warisan laut yang bisa mereka sisihkan untuk anak cucu.
’’Biarlah kami menggunakan rawai. Ikan yang makan pun jadi terpilih. Yang penting umur ikan itu bisa sampai lama,’’ kata Sidiq.
Sidiq mengatakan bahwa mereka sudah bersumpah tidak akan menggunakan jaring batu. Di dalam kesepakatan adat yang sudah berlangsung turun-temurun sejak tahun 1960, masyarakat di Bantan sudah menetapkan banyak pantangan. Pertama, tidak akan menggunakan alat tangkap yang bisa merusak laut. Kedua, tidak akan melaut pada hari Jumat. Ketiga, mengadakan semah laut setiap bulan Muharram.
Ketiga kesepakatan ini dianggap telah mampu menahan lajunya kerusakan laut di Bengkalis. Nah, ketika jaring batu datang dan tak mau menghargai kesepakatan ini, tentu saja nelayan rawai menunjukkan temberang.
’’Kami tak menolak kedatangan saudara-saudara nelayan dari manapun. Tapi kalau mau mencari ikan di tempat kami, pakailah alat tangkap yang biasa kami pakai,’’ kata Sidiq.
Soal kesepakatan ini, katanya, sudah disampaikan kepada semua pihak. Kepada pemerintah, pihak keamanan, dan pihak nelayan jaring batu itu sendiri. Sidiq mengakui bahwa kesepakatan itu bersifat lisan. Tidak tertulis.
’’Namun kesepakatan itu tak pernah dipedulikan,’’ kata.
***
Bagaimana pendapat nelayan jaring batu?
Kesepakatan ini tentu saja ditolak. Mereka tentu saja pantas bertahan dengan sikap itu. Karena, seperti yang disampaikan Koordinator sekaligus Juru Bicara Nelayan Jaring Batu Aziz Arika, tak ada satupun ketentuan perundangan yang melarang beroperasinya jaring batu. Selain itu, warga Bantan tidak berhak mengklaim bahwa laut dari Tanjungsekodi sampai Tanjungjati adalah laut milik mereka. Sebab, semua laut yang berada di garis teritorial Indonesia, adalah milik semua warga Indonesia.
Soal kerusakan lingkungan nampaknya Aziz punya alasan lain. Menurutnya, sampai saat ini belum pernah ada kajian ilmiah yang menyebutkan bahwa jaring batu akan merusak lingkungan, apalagi terumbu karang.
’’Lagi pula, siapa pula yang bilang bahwa di laut Bengkalis ini ada terumbu karangnya?’’ kata Aziz.
Soal hati yang lepai, nampaknya Aziz punya catatan tersendiri. Menurut pria hitam manis ini, korban tidak hanya jatuh pada nelayan jaring rawai. Susahnya hidup tidak juga menjadi hegemoni nelayan tradisional tersebut. Sebab, nelayan jaring batu juga merasakan hal yang sama. Kalau cerita soal kerugian akibat pertelagahan ini, nelayan jaring batu punya serentet catatan lengkap. Baik secara kuantitas maupun kualitas, kerugian yang mereka derita jauh lebih besar. Kapal yang dibakar, jaring yang dijadikan abu, dan kepala warga nelayan jaring batu yang dipenggal, adalah bagian kecil kisah duka itu.
Saat ini, nelayan jaring batu juga tidak melaut. Di Rangsang, base camp nelayan jarring batu, masyarakat juga hidup dalam kesusahan.
’’Kita hanya ingin persoalan ini bisa diselesaikan secara hukum. Jangan berlarut-larut lagi,’’ kata Aziz.
Soal penyelesaian lewat jalur hukum ini, memang ceritanya jadi lebih menarik. Kedua belah pihak mengaku sudah puas berurusan dengan hukum. Namun laporan yang mereka buat, keluhan yang disampaikan, tak pernah mendapat tanggapan yang serius. Hampir semuanya mengendap di meja petugas.
’’Jangan biarkan kami terkatung-katung dengan masalah seperti ini. Apalagi, saat ini sudah ada jatuh korban jiwa. Ini harus diselesaikan secara serius,’’ kata Aziz.
***
Di balik semua konflik itu, ada satu hal yang sampai kini masih dipercayai nelayan Bantan. Bahwa, di laut yang mereka jaga itu, masih berdiam ’’makhluk-makhluk’’ yang harus dihormati. Siapa dia? Nampaknya mereka agak tertutup. Mereka tak ingin mengungkap siapa dan apa makhluk itu karena takut akan disalahgunakan oleh orang-orang yang berniat jahat.
Sekadar bocoran, di Tanjung Parit ada dua lelaki dan satu perempuan. Di bagian selatannya ada pula orang tiga beranak. Dua kelompok kecil orang halus inilah yang dipercaya masih menunggu Bantan. Setiap tahun, mereka diberi makan melalui acara Semah Laut yang diadakan setiap bulan Muharram.
Saat semah itu, disediakan dua jenis penganan. Satu penganan berisi tujuh hidangan laut yang nantinya akan ditaburkan di laut. Sedangkan satu penganan lain adalah tujuh hidangan yang dihidangkan untuk daratan. Hidangan itu berisi ayam, ikan, pisang, pulut, sirih dan pinang, rokok linting daun nipah 44 batang, dan lainnya.
’’Penunggu laut itu sampai kini masih peduli dengan masyarakat Bantan. Ketika terjadi kesusahan seperti sekarang, bala tentara mereka pun turun. Bahkan, ketika kita bercakap-cakap ini, mereka sebenarnya sedang melihat kita,’’ kata Sodiq.
***
Konflik nelayan jaring batu dan nelayan jaring rawai, tidak sebatas perbedaan kepentingan. Ada dendam lama yang sudah menjadi kesumat. Kalau pemerintah tak tanggap, tetap hanya sebatas rencana untuk mendamaikan, bukan tanpa alasan korban akan jatuh lagi.***

0 komentar: