Senin, 07 Januari 2008

Catatan Kehidupan

Banjir Investasi dan Investasi Banjir

Mungkinkah investasi banjir dengan banjir investasi bisa sama-sama menguntungkan?
Pertanyaan ini sempat dilontarkan kawan melalui pesan pendeknya di handphone saya. Lalu, saya telepon dia.
‘’Ngkau jangan coba memancing di air keruh. Terlalu banyak periuk nasi orang yang akan tumpah,’’ kataku.
Dia pun bercerita kepada saya tentang dua frase yang semakin familiar saja belakangan ini. Menurutnya, banjir investasi sekarang ini sedang menjadi harap pinta bagi pemerintah dan masyarakat Riau. Kalau tak ada aral melintang, ratusan pengusaha akan berkumpul di negeri ini, mendengarkan penjelasan tentang potensi Riau, menjajaki kemungkinan berinvestasi, dan suatu saat akan mencurahkan uangnya di negeri ini. Kalau ini berhasil, nantinya masyarakat yang berdiam di bumi Riau akan tambah berlimpah uang.
‘’Awak tu lihatlah. Saat ini Riau seperti episentrum kekayaan. Mengaku sebagai orang Riau sama dengan mendeklarasikan diri kita sebagai orang kaya,’’ katanya.
Pernyataan teman saya itu sebenarnya banyak benarnya. Namun, dalam dua pekan ini saya mendapat kesempatan lagi berkunjung ke daerah-daerah di Riau. Beberapa kampung yang saya kunjungi, terlihat dengan jelas potret orang Melayu Riau yang sesungguhnya; hidup dengan kesederhanaan dan seperti putus asa dengan serbuan investasi yang tidak menguntungkan.
Ketika saya datang ke Kuantan Singingi, mengunjungi Kecamatan Inuman, Kuantan Mudik, dan Benai, tercetak dengan jelas betapa investasi yang hadir di sana tidak berhasil mengangkat taraf hidup masyarakat. Bahkan, kehadiran investor itu lebih banyak mendatangkan konflik dan kecemburuan sosial.
‘’Itu investor lintah. Dia akan datang dengan segenap nafsu ingin kenyang, begitu kekenyangan dia akan pergi begitu saja. Kita yang ditinggalkan akan dipenuhi darah dan kehabisan potensi masa depan,’’ kataku.
Lalu, akankah investor yang akan datang ke Riau pada 7-9 November 2007 itu menjadi investor lintah dan menambah deret panjang kekecewaan masyarakat Riau?
‘’Kalau hanya ingin mengisap dan menghabiskan potensi Riau, lebih baik tak datang. Biarlah potensi itu begitu adanya!’’ kataku lagi.
Dua hari setelah itu, dia mengirimkan pesan pendek lagi kepadaku.
‘’Pak Wali meninjau banjir di Rumbai, tapi tak mengunjungi pengungsi.’’
Saya tak segera membalas SMS-nya itu. Saya tahu, dia baru saja membaca dan melihat foto di Riau Pos yang memperlihatkan betis (bahkan juga paha) putih Pak Wali. Di Rumbai, Pak Wali nampak mengarungi air hampir setinggi lutut. Busana Melayu yang digunakannya telah menggambarkan betapa niat tulus Pak Wali untuk datang ke tempat musibah itu masih dipertanyakan.
Sebelum sebagian Rumbai terendam, beberapa daerah di Riau juga sudah kelelep terlebih dahulu. Di awal musim hujan ini saja, hampir semua sungai besar di Riau sudah meluap. Masyarakat pun hidup dalam kecemasan. Mereka berada di bawah bayang-bayang air yang siap menghantam. Bagaimana kalau sudah masuk puncak musim hujan yang diperkirakan pada bulan ini?
‘’Jangan terlalu risau, kawan. Banjir tidak selalu mendatangkan bencana dan sebungkah derita. Banjir bisa juga dijadikan sebagai investasi yang berharga,’’ kataku sejurus kemudian.
‘’Maksudnya?’’
‘’Jangan berlindung di balik ilalang sehelai, kawan. Semua orang sudah tahu bahwa di balik derita itu ada orang yang bahagia. Ya, paling tidak mereka punya media untuk berpromosi. Dengan membawa satu atau dua karton mi instan, serta naik sampan, mereka bakal populer dan berharap akan dipilih menjelang pemilihan mendatang,’’
Memang, investasi di Riau tidak mesti menjual hutan atau lautan. Banjir pun bisa menjadi investasi yang menggiurkan.
‘’Tapi jangan jadi investor lintah saja,’’ kata teman tadi.***

0 komentar: