Senin, 07 Januari 2008

catatan kehidupan

Selongsong Duka

Selama sepekan, saya bersama Pemimpin Redaksi Riau Pos Kazzaini Ks mengikuti perjalanan penting. Ada dua kawasan yang membuat saya meneteskan air mata. Pertama, ketika saya berada di antara reruntuhan bangunan akibat gempa di Bantul, dan kedua ketika saya menikmati sejuknya udara Puncak, Bogor, sembari menyaksikan Bang Kazzaini menerima hadiah sebagai pemenang Koran Masuk Sekolah Se-Indonesia.
Di Bantul, saya bisa menyaksikan kedahsyatan bencana alam. Rumah roboh, orang-orang hidup di tenda, dan makam-makam yang masih bertanah merah. Walau saya pernah menyaksikan yang lebih horor dibanding gempa di Bantul ini (saya pernah meliput kedahsyatan tsunami di Aceh, persis enam hari setelah kejadian, dan menyaksikan mayat berbelengkangan dan tersusun rapi seperti baris sepatu tentara), tetap saja pemandangan Bantul ini memberi rasa miris yang menyayat hati.
Sampai kini, masih terlalu banyak orang-orang yang memerlukan bantuan. Sebagian mereka memang sudah mendapatkan logistik lumayan. Ada pula yang mendapat bantuan perumahan, alat-alat kerja bangunan, dan bahan bangunan itu sendiri. Beberapa rumah nampak sedang dibangun permanen, semi permanen, atau hanya darurat. Namun saya menyaksikan sendiri, betapa bantuan yang mereka terima masih terlalu kurang dibanding keperluan mereka saat ini.
Buktinya, saat ini masih puluhan ribu orang hidup di tenda-tenda dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Beberapa penduduk di Pleret, Bantul, malah tidur di kandang kambing dan sapi. Ceritanya, sebelum gempa kandang di samping rumahnya adalah tempat kambing berlindung. Namun ketika gempa, dan rumahnya hancur, terpaksalah dia menggusur kambing kesayangannya dan tidur di sana anak-beranak.
Tak ada bantuan? Ada. Namun pekerjaan memang terlalu berat untuk diselesaikan. Mereka masih mengharapkan berbagai keajaiban dalam bentuk bantuan yang lebih banyak dari berbagai pihak. Mereka, tak mampu lagi meneteskan air mata hanya untuk sekadar meminta. Sekali lagi, rasa duka itu telah menusuk tikam jauh ke dalam jantung hati mereka. Saat inilah rasa senasib sepenanggungan sebagai manusia kita diuji.
Kedatangan saya dan Bang Kazzaini tentu bukan sekadar ingin bernostalgia dengan duka. Kami memang mengemban amanah penting dari pembaca; yaitu dalam rangka menyalurkan bantuan yang dihimpun dari Dompet Peduli Jogja hasil sumbangan pembaca Riau Pos. Tunggu dulu, sebenarnya belum menyalurkan, baru sebatas melakukan survei. Selama dua hari, kami melakukan survei untuk memastikan kawasan, orang, dan jenis bantuan yang akan disalurkan. Dengan melakukan survei ini, paling tidak sumbangan yang dihimpun dari pembaca Riau Pos akan tepat sasaran dan tepat jumlah.
Bantuan itu akan diserahkan secepatnya. Walau semua wilayah dan orang di Jogjakarta dan Bantul layak mendapatkan bantuan, namun kami mencatat ada beberapa kawasan yang harus dapat prioritas utama. Dan, bantuan dari pembaca itu akan kami serahkan secepatnya. Kalau bisa, pekan ini juga. Bantuan yang akan diserahkan itu berupa bahan material bangunan, alat pertukangan, bahan logistik, buku dan alat tulis, dan juga alat-alat dapur. Selain akan diserahkan lewat pemerintah, ada juga bantuan yang akan diberikan kepada fasilitas umum seperti sekolah dan rumah ibadah. Semoga, dengan bantuan ini, Jogja dan Bantul tidak akan menangis lagi.
Saudara, Indonesia memang sering disatukan dalam senandung duka. Negeri ini seperti selalu berjodoh dengan air mata. Musibah datang silih-berganti seperti berondongan senjata. Selonsong duka ini, jangan sampai semakin mengoyak hati kita. Mari bersatu padu untuk saling berbagi. Suai...***

0 komentar: