Selasa, 15 Januari 2008

catatan lepas: blok langgak

Blok Langgak, Kembali "Menggantang Angin’’

Kesempatan emas itu berlalu begitu saja. Provinsi Riau kembali tidak dipercaya Pemerintah Pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mengelola Blok Langgak, sebentang ladang minyak yang memproduksi sekitar 500 barel per hari. Sebagai tuan atas tanah yang membentang dan minyak yang tersimpan di reservoir bumi Kabupaten Kampar dan Rokan Hulu itu, Riau kembali diposisikan sebagai penonton untuk yang ketiga kalinya.
Beginilah cara Pemerintah Pusat mengisap hasil bumi Riau. Sejak beroperasi di negeri ini sebelum zaman kemerdekaan dulu, Pusat selalu bertindak sebagai tuan yang tidak mau berbagi. Berpuluh-puluh tahun mereka menjadi penguasa tunggal atas kekayaan Riau. Sampai akhirnya reformasi bergulir, dan Block Coastal Plain Pekanbaru (CPP) bisa dikelola daerah.
Seharusnya, kisah sukses pengelolaan CPP Blok bisa dilakukan untuk Blok Langgak. Bahkan, secara teori, kesempatan emas itu sudah di depan mata. Karena, masa kontrak PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) sudah berakhir 19 Januari 2006 lalu di sana. Kemudian, karena belum ditemukan operator baru, sedangkan produksi minyak tidak boleh berhenti, akhirnya kontrak dengan Chevron diperpanjang setahun lagi. Lalu, setahun lagi di tahun 2007. Dan kini bisa-bisa setahun lagi di tahun 2008.
Secara teknis dan permodalan, tak ada permasalahan dengan PT CPI. Perusahaan yang bermarkas di Amerika Serikat ini sangat kualifaid. CPI juga sudah membuktikan diri sebagai operator ladang minyak bumi terbesar di Indonesia dengan total produksi di atas setengah juta barel per harinya.
Angka 500 barel yang diproduksi Blok Langgak memang tidak ada apa-apanya dengan angka produksi CPI secara keseluruhan. Bagi CPI, kehilangan Blok Langgak tidak akan kehilangan ranting sepatah di tengah produksinya yang banyak. Tapi, bagi Riau, angka 500 itu adalah gunung emas yang harus diraih. Dengan harga minyak yang hampir menyentuh angka 100 Dolar AS per barel dikalikan dengan 500 barel per hari dan dikalikan dengan Rp9.500 (kurs Rupiah atas dolar AS) itu berarti Rp475 juta per hari. Dalam setahun, angka itu akan membengkak menjadi Rp173.375.000.000. Lumayan fantastis!
Tapi, angka (penghasilan brutto) itu kini sudah menjadi angan-angan. Bila bercerita produksi Blok Langgak dan hasil yang dicapai, sama artinya dengan menggantang angin. Ketidakmampuan Riau menunjuk operator menjadi penyebab utama. Apakah ini murni kesalahan Pemprov, DPRD, perusahaan yang tidak kualifaid, atau ada kepentingan lain yang membawanya ke ranah politik dan kepentingan ekonomi sesat, terserahlah. Yang jelas, Riau tidak mampu memanfaatkan kesempatan ini.
Bagaimana selanjutnya?
Sudah saatnya mulai sekarang berbenah lagi. Mari kita susun kekuatan kembali untuk merebut Blok Langgak itu. Tentukan sebuah operator (perusahaan) profesional untuk mengelolanya. Dukung bersama. Perbaiki mana yang salah. Lengkapi mana yang kurang. Hilangkan kepentingan yang tidak visible. Bukankah pemerintah sudah berjanji bahwa blok itu bakal diserahkan ke Riau kalau Riau bisa menunjuk operator yang tepat.
Ingat, Blok Langgak bukan hanya soal angka Rp173.375.000.000 per tahun saja. Ini adalah persoalan marwah. Sangat tak masuk akal kalau Riau tak mampu. ***

0 komentar: