Minggu, 13 Januari 2008

catatan lepas: jajan sambil jalan

Wisata Baru: Jalan sambil Jajan

Pekanbaru kota gersang! Pernah dengar kalimat pedas, keras dan memojokkan itu? Jangan marah kalau memang pernah mendengarnya. Kepada saya pun, beberapa teman acap melontarkan pernyataan-pernyataan yang membuat urat rabu mendidih itu.
Tapi, benarkah pernyataan itu mesti ditanggapi dengan amarah? Apakah tuduhan-tuduhan itu sepenuhnya salah? Masihkah kita sanggup mengklaim bahwa kota ini teduh, sejuk dan penuh bebungaan?
Beberapa kali saya menyempatkan diri menjamah lekuk demi lekuk wilayah kota ini. Dari sebentang jalan ke sebentang jalan lain. Dari Muara Fajar Rumbai hingga Simpang Baru Panam. Dari Sigunggung sampai Marpoyan. Dari Kulim hingga Sukajadi. Dari Tanjung Rhu hingga Gobah.
Yang saya temukan memang Jalan Riau yang gersang, Jalan Soekarno-Hatta yang dijejali truk-truk besar dan tanah timbun, Jalan Yos Sudarso yang berpanas terik, Jalan A Yani yang sumpek, Jalan Imam Munandar yang crowded, Jalan Arifin Ahmad yang bergelombang, Jalan Tuanku Tambusai yang selalu macet, Jalan Soebrantas yang semua pohon pelindungnya ditebang dan Jalan Hang Tuah yang lintang pukang.
Duh, hampir tidak saya temukan seutas jalan pun yang menyenangkan mata dan hati, apalagi mata hati. Jalanan Pekanbaru memang tidak ramah. Baik kepada pengendara roda empat, roda dua, apalagi kepada pejalan kaki.
Beberapa ruas jalan yang membuat napas agak lega, hanyalah utas Jalan Sudirman dan Jalan Diponegoro serta beberapa kerat ruas jalan yang tidak terlalu menonjol. Itu pun, di beberapa tempat ternyata belum diatur dengan baik. Sebut saja Jalan Sudirman mulai dari persimpangan Jalan Pangeran Hidayat sampai ke Pelita Pantai.
Lalu, dalam dua hari ini saya membaca artikel Deliarnov, dosen Unri soal gagasan tertib berlalu lintas di Riau Pos. Tulisannya bagus, bahasannya padat dan sebagian besar bercerita tentang Negeri Seberang yang intinya menyuruh Kota Bertuah berkaca ke Negeri Datuk itu.
Dari tulisan itu, satu kalimat yang bisa saya simpulkan; bahwa warga kota ini sudah merindukan jalan yang nyaman, mulus, teduh dan penuh bebungaan. Sesungguhnya kita sudah merindukan sebentang jalan yang benar-benar manusiawi. Kita juga merindukan pengguna jalan yang tertib, santun dan saling menghormati. Bahkan, kita juga ikut merindukan pejalan kaki yang hak-haknya dihargai.
Hak pejalan kaki? Ya, selama ini jalanan Pekanbaru hanya jadi ‘’hak milik’’ si empunya kendaraan. Tak ada tempat untuk pejalan kaki. Selama ini, mereka harus menerobos pedagang kaki lima, meloncati lubang-lubang terowongan sampah, dan selalu was-was bila suatu saat dicopet.
Pertanyaannya, mengapa pembangunan jalan di dalam Kota Bertuah tidak memikirkan dan mementingkan hak pejalan kaki ini? Benarkah jalan hanya untuk lalu lintas orang berkendaraan?
Saya teringat dengan sistem pedestrian di Jakarta. Di Jalan Kebon Sirih, sepanjang jalan tempat Gubernur DKI Jakarta berkantor itu, telah dibangun pedestrian yang cukup teratur. Walau tidak dimarmer seperti kebanyakan pedestrian di Kualalumpur, Malaysia, tetap saja pedestrian itu berkesan asri karena masih banyaknya pohon perindang dan bebungaan.
Di beberapa kota Malaysia, pedestrian dibangun jauh lebih baik. Di setiap sisi badan jalan, membentang panjang trotoar khusus. Dimarmer, diberi bebungaan, dan diberi berbagai aksesori serta fasilitas yang bisa dipergunakan pemakai jalan. Setiap gedung di pinggir jalan, membuat teras yang lebar, tanpa pagar. Kesannya luas dan bersahabat.
Dalam perjalan saya ke Kualalumpur akhir tahun kemarin, saya gemas melihat jalanan kota Kualalumpur yang memanjakan pejalan kakinya. Bila petang menjelang, pedestrian itu penuh dengan pejalan kaki. Ada yang memang pulang dari kantor, sekadar window shopping, dan ada pula yang mengajak si anjing kecilnya jalan-jalan sore. Kapan Pekanbaru akan seperti ini?
Pedestrian, atau trotoar atau apapun namanya, mungkin sekilas terlihat hanyalah persoalan kecil. Tapi, tahukah Anda bahwa Jakarta hampir membuat khusus Dinas Trotoar hanya karena sistem pedestrian mereka yang tidak tertata dari awal? Bukankah Malaysia juga dapat mendatangkan devisa dari sektor belanja dan wisata karena didukung sistem lalu lintas dan pedestrian yang bagus?
Pedestrian memiliki fungsi yang sangat strategis untuk membentuk wajah kota. Trotoar yang lapang dan beradab, dipastikan bisa membuat pejalan kaki senang melaluinya. Bila banyak orang yang berjalan kaki, tentu pengguna kendaraan berkurang. Bila kendaraan berkurang, jalanan pun tidak sesak. Sebagai bandingan lain, di Jepang, penduduknya sudah terbiasa berjalan kaki untuk pergi ke tempat kerja, bila jaraknya hanya sekitar 2 kilometer.
Di sisi lain, pedestrian juga bisa meningkatkan pendapat dari sektor pariwisata. Analisanya, bila banyak orang yang jalan kaki, kesempatan dia untuk melihat-lihat barang dagangan di etalese toko, akan lebih banyak. Apalagi kalau di tempat-tempat tertentu dibangun pula semacam coffee shop atau tempat nongkrong yang nyaman, bukankah orang-orang akan suka berjalan kaki dan bakal mendatangkan untung bagi sang pedagang? Bukankah dengan pola seperti ini berarti kita menciptakan jenis objek wisata baru; jalan sambil jajan?
Di sepanjang jalan Kualalumpur, hampir semua coffee shop pinggir jalan dipenuhi pengunjung. Apalagi, tempat minum itu tidak tertutup pagar, langsung berada di sisi trotoar yang bersih dan praktis untuk disinggahi.
Saya pikir, kalau Pemko Pekanbaru (tentu saja bekerja sama dengan Pemprov Riau) mulai berpikir membangun pedestrian, saya yakin perlahan namun pasti persoalan jalanan yang crowded akan terpecahkan. Sekaligus, pemerintah akan berhasil menciptakan sebuah objek wisata yang manusiawi dan murah meriah.***
Bagaimana Malaysia menjual barang-barang produksinya? Pertanyaan ini patut mengemuka. Soalnya, warga Indonesia, termasuk Riau, tampak begitu suka berbelanja ke sana. Hampir sepanjang tahun, sepanjang pelosok Malaysia dibanjiri warga Indon, sebutan mereka untuk warga Indonesia. Pusat belanja, objek wisata sampai hotel-hotel, penuh. Bahkan, rombongan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau hampir saja tidak mendapat hotel tempat menginap. ‘’Untung dipesan jauh-jauh hari,’’ kata Tien Marni.
Bagaimana dengan Malaysia? Negara Datuk ini memang sengaja menyiapkan sebuah objek wisata khusus even, yaitu wisata belanja. Program big sale (penjualan besar-besaran) pun diluncurkan. Di berbagai pusat perbelanjaan, dipampangkan logo yang menyatakan bahwa Malaysia sedang ada program penjualan besar-besaran. Logo dan iklan itu tidak hanya dipampang di Malaysia, melainkan sampai ke negara-negara tetangga dan negara maju lainnya.
Soal harga? Tergantung produk yang dijual, atau siapa yang menjual. Ada yang memang di bawah harga normal dan ada pula yang tetap pada harga normal. Hanya saja, karena perbedaan kurs rupiah terhadap ringgit Malaysia, kadang-kadang menimbulkan anggapan bagi orang dari Indonesia bahwa barang yang dijual harganya sedikit di atas normal. Namun demikian masih banyak produk yang dijual di Malaysia lebih murah dibandingkan harga di Indonesia.
Kualalumpur juga dilengkapi berbagai restoran atau rumah makan beragam selera dan menu. Jika mau yang lebih berkesan, makan malam di restoran dengan ketinggian lebih dari 300 meter bisa dijadikan satu pilihan.
Rumah makan berputar di menara Kualalumpur (menara KL), menara antena telekomunikasi tertinggi negara, merupakan hal yang mengasyikkan. Rombongan yang dibawa makan di restoran itu berkesempatan melihat kota Kualalumpur dari ketinggian. Beberapa orang yang pernah makan di situ mengatakan makan pada malam hari lebih menyenangkan karena bisa melihat keindahan malam kota dengan berbagai gemerlap lampu, apalagi menara itu letaknya dekat dengan gedung kembar Twin Tower yang terkenal itu.
Maka tidak heran jika tarif sekali makan per orang berbeda antara siang dan malam. Untuk siang RM60 dan malam RM80. Artinya, jika dirupiahkan, maka sekali makan di atas seharga Rp135.000 hingga Rp145.000 untuk siang dan Rp180.000 hingga Rp200.000 untuk malam tergantung besar fluktuasi rupiah.
Apa yang dikatakan Mustafa tidak meleset. Berbagai menu disajikan baik ala masakan selera umum maupun masakan Cina. Kata Mustafa, jangan makan banyak-banyak untuk satu menu, kalau mau mencicipi menu yang lain.
Saya teringat dengan Jakarta Great Sale. Selama sebulan penuh tiap tahun, Jakarta menggelar pesta diskon. Hampir semua pusat perbelanjaan, ikut dalam program ini. Gerai-gerai di mal dan plaza Jakarta, secara serentak menggantung pamflet diskon. Mulai hanya 10 persen, sampai besar-besaran hingga 80 persen.
Hasilnya? Plaza Senayan, Plaza Indonesia, Mal Karawaci, Mal Ciputra, Mal Taman Anggrek hingga plaza-plaza kelas menengah lainnya, dipenuhi pengunjung. Tentu, selain hanya memilih dan memilah, kebanyakan mereka akan membeli.
Tak cukup dengan Jakarta Great Sale, di Ibu Kota Indonesia ini juga terkenal dengan berbagai pesta rakyat, yang masih berhubungan dengan wisata belanja. Sebut saja Festival Kemang yang banyak dinanti-nanti itu. Begitu juga pasar malam Jalan Jaksa. Bila festival dan pasar malam itu sudah dibuka, hampir semua turis, berbondong-bondong ke sana. Khusus untuk Kemang, sebagian turis malah sengaja menetap di sana. Di rumah-rumah penduduk yang jauh dari kesan glamour Jakarta.
Mengapa mereka senang berada di tengah permukiman warga kebanyakan itu? Bukan di hotel? Tampaknya Jakarta terus berusaha menggabungkan sistem pariwisata jajan dan jalan. Di sepanjang Jalan Jaksa dan Kemang, kawasan yang diciptakan memang diusahakan jauh dari kebisingan kendaraan umum. Bila Anda ingin masuk ke Jalan Jaksa, cukup berjalan kaki atau naik motor saja. Bila membawa mobil, bisa dipastikan kendaraan Anda tidak akan ikut serta masuk.
Setiap sore atau pagi, kita akan menemukan puluhan orang asing berjalan-jalan di tempat ini. Atau, kita akan sering mendengarkan sapaan tilu ‘’selamat pagi’’ atau ‘’selamat sore’’ dari turis mancanegara yang duduk-duduk santai di serambi rumahnya. Jumlah para turis ini akan lebih banyak bila malam tiba. Mereka menyerbu penjual jajanan di sepanjang kawasan itu. Mulai ketoprak, soto Betawi, es dawet atau juga kerak telor. Ya, makanan kampung.
Sedangkan Kemang, kawasan ini dikenal sebagai kota dengan bangunan tua. Ratusan rumah di sana kebanyakan berumur di atas 100 tahun. Uniknya, pemerintah sangat melarang merusak bangunan tua itu. Bahkan, Pemprov DKI tidak segan-segan mengusut seorang pejabat tinggi bila mencoba merusak bangunan tua , sekalipun itu rumahnya sendiri. Perlu izin khusus bagi seseorang bila ingin memugar rumahnya, termasuk bila hanya sekadar memperbaiki dapur.
Kapan Pekanbaru mengikuti jejak langkah Malaysia dan Jakarta? Sudah siapkah kita mempertahankan bangunan-bangunan tua yang masih ada itu agar tetap seperti aslinya? Siapkah kita menyembahkan kepada para tetamu sebuah kawasan yang tidak bising, jalanan yang lapang dan jajanan yang memang khas?***

0 komentar: