Sabtu, 22 Desember 2007

Kamparkiri Hulu, Terisolir dari Dulu hingga Kini
’’Kalau Tak Juga, Biar Kami Pindah ke Sumbar Saja!’’



Tanah masih basah. Sisa dingin hujan malam tadi masih membungkus hutan Bukit Rimbang Baling. Saya, ketika matahari tersenyum di balik dedaunan, masih berada di lingkar luar kawasan terlarang itu. Tepatnya masih di Kuntu, ibu kota Kecamatan Kamparkiri Hulu.

Laporan SAIDUL TOMBANG, Gema
saidultombang@riaupos.com

Kuntu, negeri berjuntai di bibir sungai, nampak tenang pagi itu. Kawasan ini sering menjadi persinggahan banjir bandang. Banjir di kawasan ini, seperti juga kawasan searah dengannya, memang tak lama. Hanya berlangsung dua atau paling lama empat jam. Namun, banjir bagi warga Kamparkiri Hulu adalah momok yang menakutkan. Dia datang dengan tiba, menelan kawasan ini dengan tiba-tiba, dan pergi juga dengan tiba-tiba. Bahkan, beberapa tahun lalu, ketika warga baru saja menyembelih hewan kurban untuk dibagi-bagikan kepada yang berhak, secara tiba-tiba banjir bandang dating. Ratusan bungkusan daging pun hanyut digubal air. Yang tersisa satu jam kemudian hanya bekas lumpur, dan tiang tenda yang sudah rubuh.
Kamparkiri Hulu memang negeri dengan sejumlah keluh-kesah. Hampir semua desa di kecamatan ini adalah desa dengan status terisolir. Pembangunan infrastruktur yang tak sebanding dengan keperluan masyarakat telah membuat kecamatan ini tertinggal dalam waktu lama. Setidaknya, ada sepuluh desa dengan status terisolir seutuhnya dan enam desa yang tidak bisa dilewati sama sekali bila hujan mengguyur satu malam saja.
Desa yang terisolir secara utuh adalah Batu Songgan, Tanjungberingin, Aur Kuning, Subayang Jaya, Terusan, Pangkalan Serai, Gajah Betalut, Ludai, Sungai Santi, Kota Lama, dan juga Pangkalan Kapas. Beberapa desa tak pernah sama sekali diinjak ban mobil. Sedangkan enam desa lainnya, yaitu Danau Sontul, Deras Setajak, Batu Sosak, Kebun Tingi, Tanjungkarang, dan Tanjungpermai, berstatus hampir sama dengan rekannya tadi. Bedanya, bila musim kemarau bisa dilewati, namun bila hujan mengguyur satu malam saja, jalanan itu akan menjadi kubangan yang tak akan mampu dilalui oleh kendaraan jenis apapun.
Untuk mencapai kawasan daerah terisolir mutlak itu, satu-satunya jalan adalah dengan menyusuri aliran sungai Kampar dengan menggunakan sampan atau pompong. Kalau naik pompong, diperlukan minimal waktu delapan jam untuk sampai ke Pangkalanserai atau Pangkalan Kapas. Namun kalau naik perahu biasa, ya, kemungkinan akan sampai ke hulu sungai setelah seminggu berkayuh.
Payahnya, aliran sungai ini tidak bisa dilayari setiap saat. Bila musim penghujan datang, hampir pasti tak ada yang berani melayarinya. Takut banjir bandang yang bisa menerjang mereka, dan menenggelamkan penumpangnya. Aliran sungai jadi sangat deras dan menggila. Jangankan melawan arus, mengikuti arus saja banyak yang tidak berani.
Bila musim kemarau datang ternyata lebih parah lagi. Pendangkalan aliran sungai terjadi dimana-mana. Untuk menyeberang dari satu tebing ke tebing lain tak perlu memakai sampan atau rakit. Cukup buka sepatu, singsingkan celana, dan menyeberanglah. Karena, kedalaman air di beberapa tempat ternyata tidak mampu menenggelamkan lutut.
Karena pendangkalan ini pula, praktis pompong atau sampan tak bisa melayari sungai ini. Dan, kejadian ini sudah menelan korban dalam jumlah banyak. Puncaknya adalah di penghujung abad ke-20 saat tujuh dari sepuluh desa itu tidak bisa dikunjungi. Tak ada jalur darat selain berjalan kaki melintas bukit, dan tak ada jalur air karena air sungai mengering dan tak satupun alat angkut bermesin yang bisa melayarinya. Pasokan bahan makanan terputus, orang-orang tak masuk menyampaikan bantuan. Masyarakat desa pun tak mampu keluar untuk menjemput bantuan.
Kini, apa kabar desa terisolir itu?
Masih seperti dulu. Masih ada beberapa desa yang belum pernah terlindas ban mobil. Walau harus diakui beberapa waktu lalu penduduk desa di bagian kiri Sungai Kampar sudah senang saat pemerintah mulai merintis dan membangun badan jalan, ternyata harapan itu harus terkubur bersama nasib Bupati Kampar Jefry Noer yang digantung tak bertali oleh pemerintah hampir setahun lamanya.
’’Kalau memang Bupati dianggap bersalah, harusnya kebijakan Pemkab harus tetap jalan. Namun kenyataannya itulah, bupati terkatung-katung, kehidupan kami pun terkatung-katung,’’ kata Julizar, Sekretaris Kecamatan Kamparkiri Hulu, beberapa waktu lalu.
Kamparkiri Hulu memang negeri yang terlupakan dalam waktu yang sangat lama. Sejujurnya mereka cemburu dengan Bangkinang, atau Lipatkain, apalagi Pekanbaru. Namun sesungguhnya mereka lebih cemburu karena mereka bersempadan dengan kawasan maju lainnya. Pangkalanserai dan Pangkalankapas adalah dua desa yang langsung berbatasan dengan Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat. Dari negeri yang terisolir, mereka bisa mencapai kabupaten itu dalam jarak tempuh hanya lima sampai enam jam berjalan kaki. Bahkan, dari kebun mereka di perbukitan, mereka bisa mendengar suara azan dari masjid-masjid provinsi tetangga. Di sana mereka akan bisa menemukan lebuh raya yang diaspal hotmix, dan perkampungan dengan penerangan listrik cukup. Bila dibanding harus mencapai Kuntu untuk mendapatkan penerangan dan lebuh hitam, mereka memerlukan waktu mencapai sembilan jam perjalanan.
’’Praktis kami tak bisa menjual hasil kebun dan hasil alam lainnya. Kalau sayur kami bawa ke Kuntu, perlu waktu delapan atau sembilan jam. Bisa layu dan busuk sayur itu sebelum sampai,’’ kata Saari, warga yang siang itu berlabuh di dermaga pompong.
Warga daerah terisolir ini memang kebanyakan bekerja sebagai petani. Mereka berkebun karet, palawija, dan juga sebagiannya kopi. Mereka mengaku lebih senang berniaga ke Sumatera Barat. Namun, sekali lagi, mereka terisolir. Tak ada jalan mencapai negeri Sumatera Barat, dan juga negeri di Riau lainnya.
’’Kami hanya mengandalkan kuda. Bukan untuk dinaiki, tapi kuda untuk mengangkut beban hasil pertanian,’’ kata Sofyan menimpali.
Karena keterasingan hidup ini pula, warga tak ragu berkeluh-kesah dan menyampaikan kegelisahan. Beberapa kali mereka menyatakan ingin pindah ke Sumatera Barat saja yang dinilainya lebih beradab dan lebih memperhatikan daerah pinggiran.
’’Kalau kami tak juga diperhatikan, lebih baik kami pindah saja ke Sumatera Barat,’’ kata Sofyan dan Saari serempak.
Tahun 2006 Bangun Jalan
Benarkah Kamparkiri Hulu, dan Kampar Kiri secara keseluruhan benar-benar ditelantarkan Pemkab Kampar?
Nampaknya pertanyaan ini dijawab sendiri oleh salah seorang anggota DPRD Kampar yang juga anak jati Kamparkiri, Repol SAg. Menurut keterangan politisi muda Partai Golkar ini, selama ini Kamparkiri memang sering dipandang sebelah mata. Selain 16 desa yang terisolir itu, masih terdapat puluhan desa lainnya yang juga bernasib serupa. Namun khusus untuk tahun 2006, warga Kamparkiri Hulu bisa bernafas sedikit lega. Pasalnya, pada APBD Kampar tahun 2006, telah dianggarkan dana sebanyak Rp8 miliar untuk pembangunan jalan darat yang menghubungkan Kuntu dan daerah pesisir hulu bagian kanan Sungai Kampar. Dengan dana sebanyak itu, pembangunan badan jalan yang sebelumnya sempat terlantar karena nasib Bupati Jefry Noer tak menentu, bisa dibangun kembali. Pembangunan yang bersempena dengan Tentara Manunggal Masuk Desa (TMMD) ini, setidaknya akan berhasil membuka lima desa yang terisolasi. Yaitu Desa Batu Songgan, Tanjungberingin, Aur Kuning, Gajah Betalut, dan Terusan.
Selain itu, di bagian kanan sungai Kampar, juga akan dibangun jalan sepajang 10 kilometer dari 22 kilometer yang diperlukan. Bila badan jalan ini berhasil dibangun, berarti empat desa sudah akan terhubung dengan dunia luar.
’’Seharusnya dana pembangunan ini masih sangat kurang. Namun kita berharap Pemerintah Provinsi juga bisa melihat kepentingan ini dan ikut menganggarkannya ke dalam dana APBD Provinsi. Kalau kita tak bahu-membahu, tentulah permintaan warga untuk bergabung dengan Sumbar sulit ditolak,’’ kata Repol.
Untuk membuka isolasi Kamparkiri, sebenarnya Kabupaten Kampar punya rencana yang jauh lebih jauh ke depan. Menurut rencana, mereka akan membuka jalur pintas antara Lipatkain menuju Bukittingi, Sumatera Barat. Jalur yang akan dilalui adalah Pekanbaru-Lipatkain-Lubukagung-Kebuntinggi-50 Kota. Antara Pekanbaru ke Bukittinggi hanya dihubungkan jalan 152 kilometer saja. Jalur ini lebih pendek dibanding bila harus menempuh rute Pekanbaru-Bangkinang-Rantau-berangin-Bukittinggi.
Kamparkiri Hulu memang masih dirundung masalah sampai sekarang. Ketika saya menaiki pompong yang bisa disewa Rp1 juta sehari di dermaga Gema itu, saya melihat bahwa kampung ini memang merana. Dan, pemerintah bukan hanya terlambat menolong mereka, namun juga menolong dengan dana yang tidak sepadan dengan keperluan.***

0 komentar: