Kehidupan selalu beredar pada siklus yang tak jauh dengan masa lalunya. Dan, seakan tak pernah bosan, siklus resesi ekonomi yang terjadi pada 1998 silam, nampaknya berulang di tahun 2008. Padahal, rasa pedih dan letih akibat hancurnya ekonomi yang juga ditandai dengan pergantian pimpinan negara di Indonesia, masih terasa. Ketika itu, semua orang mengetatkan ikat pinggang. Jutaan orang harus kehilangan pekerjaan. Sekian banyak yang sebelumnya konglomerat terjun bebas jadi melarat.
Kini, getaran resesi ekonomi dunia menghantam kembali. Bermula dengan kenaikan harga minyak dunia, berimbas pada krisis 3 F; food (pangan), fuel (energi), dan financial (financial), dan akhirnya membuat pasar modal di Amerika Serikat (AS) terkoyak. Episentrum mimpi buruk ini masih berada di AS. Walau pemerintahan AS sudah mengucurkan dana talangan (bailouts) sebesar 700 miliar dolar AS, pasar saham negeri Paman Sam itu tetap juga belum membaik.
Di Indonesia, getaran gempa ekonomi itu juga sudah sangat terasa. Paling tidak itu terbukti pada Rabu (8/10), untuk pertama kalinya dalam sejarah Bursa Efek Indonesia (BEI) stop jual-beli saham di tengah jalan, sekitar pukul 11.08 JATS (Jakarta Automated Trading System). Ini karena penurunan harga dinilai sudah tidak wajar. Saat disuspen, IHSG anjlok 168,52 poin (10,38 persen) ke titik 1.451,669 dengan nilai transaksi hanya Rp952,165 miliar. Itu merupakan indeks terendah sejak September 2006.
Di tengah carut-marut perekonomian itu, tiba-tiba datang berita yang tak kalah hebohnya dari Riau. Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit terjun bebas. Dari angka mencapai Rp2.000 per kilogram, kini bahkan sempat menyentuh angka Rp300 per kilogramnya. Atau, terjadi penurunan harga 700 persen. Harga karet yang sempat menyentuh angka Rp14.000 per kilogramnya, kini bisa turun hingga ke angka Rp6.000 sampai Rp7.000 per kilogram. Atau turun sekitar dua kali lipat.
Penurunan drastis ini sangat berpengaruh besar bagi masyarakat petani. Karena, bila selama ini sebagian mereka mampu menghasilkan uang hingga Rp4 juta per bulan untuk satu kapling kebun sawit, kini hanya menerima Rp700 sampai Rp800 ribu. Padahal, keperluan hidup mereka dalam beberapa tahun belakangan ini sudah disetel di angka pendapatan Rp4 juta per kapling sawit.
Pertanyaan yang kini benar-benar membuat penasaran petani adalah, apakah benar penurunan harga TBS dan karet itu disebabkan permulaan resesi ekonomi dunia?
Kalau berkaca dari analisa pengamat ekonomi Prof Dr Detri Karya SE MA, penurunan harga itu lebih disebabkan pembebanan biaya produksi perkebunan besar kepada petani kecil yang dilakukan konglomerat yang menguasai industri hilir. Kenaikan biaya produksi mereka akibat kenaikan harga minyak, dibebankan kepada petani. Para konglomerat itu tak mau mengurangi pendapatannya.
Kalau begitu, sebenarnya tak ada hubungan antara guncangan resesi dunia dengan harga TBS. Lagi pula, penurunan drastis harga TBS itu juga disebabkan infrastruktur yang buruk, jalanan yang tidak bisa dilalui, dan pungutan liar di tengah jalan.
Kalau memang resesi dunia itu belum terasa di tengah masyarakat petani, harusnya pemerintah mengulurkan tangannya untuk membantu petani, dan di sisi lain memperingatkan (bisa juga menjewer) konglomerat yang nakal.
Harus ada kebijakan khusus untuk menyelamatkan para petani tersebut.***