Kamis, 28 Februari 2008

’’Belah Dada Saya, Disana Ada Sejuta Burung Garuda’’

Berkunjung ke Pulau Terluar, Menjelang HUT Ke-61 Indonesia
’’Belah Dada Saya, Disana Ada Sejuta Burung Garuda’’

Menjelang HUT ke-61 kemerdekaan Indonesia, rasa nasionalisme kembali diuji. Masihkah burung garuda terbang rendah dan singgah di hati penghuni bumi Indonesia?

Laporan SAIDUL TOMBANG, Rupat
saidultombang@riaupos.com

Pantai Rupat, Kamis (10/8) petang. Pasir pantai membentang panjang. Putih, bersih, dan dipenuhi umang-umang. Binatang kecil itu kadang membuat konfigurasi, memerahkan sebagian bidang pantai yang landai. Berkali-kali dihempas ombak, dia tak kunjung beranjak. Dari kejauhan, ombak selatan Selat Melaka membawa angin basah; menampar-nampar wajah, menggerai-gerai mayang di kepala.



Pantai Rupat yang damai. Orangnya tak ramai. Pantai ini hanya dijejali orang ramai pada bulan Shafar saja, saat mereka melakukan ritual mandi Shafar. Selebihnya, yang ada hanya perahu nelayan yang tersadai ketika siang, burung yang terbang rendah dan mematuk umang-umang, dan selebihnya hanya sunyi.

Penduduk Rupat tak lagi ingin berandai-andai. Ya, andai di sini ada cottage, andai di sini banyak turis, andai penduduknya bisa hidup berada, andai saja mereka bisa bebas ke Malaysia, andai pemerintah Indonesia tahu betapa pahitnya saat bertetangga dengan orang kaya. Andai saja pemerintah Indonesia memenuhi satu dari sekian jumlah janji mereka. Ya, andai saja, hmm…

’’Kami sudah muak dengan janji-janji pemerintah. Katanya ingin membangun jembatanlah, mengembangkan potensi wisatalah, bangun cottage-lah. Mana? Mana realisasinya? Sampai kini Rupat tetap saja pulau yang dipenuhi janji-janji,’’ kata Misliadi, tokoh pemuda Pulau Rupat yang sedang menyelesaikan studi magisternya di Universty Kebangsaan Malaysia (UKM).

Pantai Rupat berhadap-hadapan dengan daratan negeri Malaya. Jika beruntung, pada saat-saat tertentu warga Rupat bisa menatap perbukitan bumi Malaysia dengan mata telanjang. Jarak yang memisahkan mereka tak terlalu panjang. Tak sampai satu jam naik speed boat, atau maksimal 2,5 jam naik perahu motor pompong. Karena kedekatan itu pula, mereka seperti saudara. Bahasa hampir sama, kesukaan juga tak jauh beda. Untuk sekadar membeli daging ayam, sayur-mayur, atau sarden sekaleng, warga Rupat bisa mendapatkan dari Malaysia. Untuk rujukan berobat, membeli keperluan pesta, atau keperluan jenis apapun, Malaysia ternyata lebih praktis dan ekonomis. Maka tak heran kalau sampai saat ini mata uang Ringgit masih berlaku untuk urusan jual beli. Sepeda motor dan beragam produk made in Malaysia masuk ke Rupat tanpa harus melalui proses di bea cukai.

Berhubungan dengan Malaysia menjadi pilihan utama dibanding Indonesia. Sekadar gambaran geografis, untuk mencapai Dumai, kota tetangga yang paling maju di pantai pesisir Riau, diperlukan waktu minimal lima jam naik pompong, atau 2,5 jam naik speed boat. Padahal, untuk mencapai Melaka mereka hanya memerlukan waktu setengahnya saja.

Perhatian Indonesia
Luas Pulau Rupat tiga kali luas Provinsi DKI Jakarta. Namun penduduknya tak sampai seperseratus jumlah penduduk Jakarta. Sebelum tahun 2000, saat otonomi daerah belum diberlakukan, tak ada jalan yang disemen lebih dari dua meter, tak ada sekolah lanjutan negeri, tak ada alat komunikasi, dan listrik hidup hanya di malam hari.
Sebenarnya, sejak awal tahun 1990-an, pemerintah sudah menjadikan Rupat sebagai buah bibir. Pulau terluar Indonesia ini akan dijadikan garda terdepan untuk kemajuan. Di sana akan membentang jalan tol (highway), sebuah jembatan terpanjang di Asia Tenggara akan menghubungkan Rupat dengan Malaysia, juga Rupat dengan Sumatera. Malah, beberapa pejabat istana dan orang-orang Cendana disebut-sebut telah mengapling tanah.
Di awal otonomi daerah, Rupat kembali dininabobokan dengan potensi wisatanya. Katanya, Rupat lebih indah dari Bali, lebih bersih dari Bunaken, lebih strategis dari hampir semua pantai di Indonesia. Di sana akan dibangun cottage, sentra-sentra produksi wisata. Penduduknya akan diajari berbahasa Inggris untuk menyambut kedatangan wisatawan. Dan, sekali lagi, masyarakat Rupat dibuai dengan mimpi tentang indahnya kemajuan, dan gemerincing uang ringgit atau helaian uang dolar.
Sampai kini, Rupat masih seperti yang lalu. Tak ada perubahan signifikan di negeri penuh janji itu. Jalanan dengan lebar enam meter tak sampai tiga kilometer. Tak ada kendaraan roda empat. Di sana listrik hanya bisa hidup di malam hari. Ada beberapa sekolah negeri, namun tak dilengkapi dengan fasilitas sewajarnya.

Parahnya, masyarakat Rupat tak bisa mengenal Indonesia dengan baik, termasuk mengenali provinsinya sendiri; Riau. Mereka seperti terputus hubungan dengan provinsi dan negeri ini. Bukan mereka tak mau, tapi memang fasilitas untuk mereka tak ada. Layar televisi atau siaran radio yang masuk ke bilik-bilik rumah mereka rata-rata siaran Malaysia. Cukup dengan meletakkan antena biasa satu meter dari atap rumah, maka siaran dari enam televisi Malaysia dan Singapura, bisa dilihat di layar kaca dengan jelas. Sedangkan televisi Indonesia?
’’Di Rupat Utara yang terdiri dari 2.288 rumah, hanya 30 rumah saja yang memakai parabola. Rumah yang 30 itulah yang bisa menangkap siaran Indonesia,’’ kata Suparman S Sos, Camat Rupat Utara kepada Riau Pos, Kamis (10/8).

Karena terputusnya informasi itu pula, akhirnya Indonesia termasuk dalam daftar negara asing bagi mereka. Mereka baru bisa mengenal negeri ini melalui televisi negara tetangga. Tsunami di Aceh atau gempa di Jogja mereka ketahui dari TV3 Malaysia.

Tentu saja, karena setiap hari disodori siaran televisi Malaysia, negeri Ringgit itu begitu familiar di hati mereka. Maka tak salah, ketika di sebuah sekolah dasar di sana, seorang murid ditanya tentang siapa Presiden Indonesia, sang anak akan menjawab; ’’Presiden Indonesia Ahmad Badawi (Perdana Menteri Malaysia, red).’’
’’Jangan salahkan anak-anak kami kalau lebih mengenal Ahmad Badawi dibanding Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Karena setiap hari mereka hanya melihat Ahmad Badawi. Sedangkan Presiden SBY hanya mereka dengar sekali-sekali,’’ kata Suparman.
Karena itu pula, Suparman meminta pemerintah agar segera membangun minimal satu pemancar televisi yang akan merelay siaran televisi Indonesia. Paling tidak, ini akan mampu meredam ketidaktahuan anak-anak terhadap Indonesia.
Ketika Indonesia Raya Berkumandang

Siang itu, Kamis (10/7), di gedung Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau Kecamatan Rupat. Puluhan orang berkumpul. Di barisan depan, ada drg SW Pujiastuti. Perempuan mungil yang manis ini adalah Direktur Potensi Sumber Daya Manusia (SDM) pada Direktorat Jenderal (Dirjen) Potensi Pertahanan di Departemen Pertahanan (Dephan) Indonesia. Di sampingnya duduk Said Amir Hamzah SKM, Kepala Badan Informasi dan Komunikasi (Infokom) dan Kesatuan Bangsa Provinsi Riau. Di gedung yang baru dibangun itu, juga hadir camat, kepala desa, dan unsur masyarakat lainnya.

Pujiastuti memang datang mendadak pada hari itu. Ini merupakan kunjungan tidak resmi, namun sesungguhnya punya makna. Momennya pun pas; yaitu menjelang detik-detik peringatan HUT ke-61 kemerdekaan Indonesia. Paling tidak, Pujiastuti ingin mengadakan antitesis tentang rasa nasionalisme warga yang mendiami pulau terluar Indonesia itu. Apakah merah putih masih berkibar di hati mereka? Apakah burung garuda masih kekar di pemikiran warga Rupat? Apakah Indonesia masih menjadi daging dan darah yang mengalir di setiap nadi mereka?

Dan, di awal pertemuan itu sebuah rekaman dari video compact disc (VCD) diputar di gedung LAM. Lagunya? Indonesia Raya. Dengan klip yang menggambarkan betapa perlunya mencintai Indonesia; plus teks lagu yang memudahkan pembaca, lagu itu pun dimulai. Indonesia tanah airku/tanah tumpah darahaku/di sanalah aku berdiri/jadi pandu ibuku/…
Ada Melayu di sana. Ada suku akit, suku Jawa, Batak, Minang, dan beberapa ras lainnya. Ketika mengumandangkan Indonesia Raya, semua kompak. Hampir tak ada yang salah melafalkan. Bibir mereka bergetar, mungkin karena sudah terlalu lama tidak menyanyikan lagu itu. Rasa heroik dan patriotic mereka sedemikian emosional sehingga ruangan itu penuh dengan gempita.

Pujiastuti memang seorang nasionalis sejati. Sebagai orang penting di Dephan, dia memang sangat berharap kepada masyarakat Rupat, dan masyarakat lainnya yang mendiami pulau-pulau terluar Indonesia.

’’Mereka adalah ujung tombak pertahanan dan keamanan bangsa. Mereka adalah jendela Indonesia menuju negara tetangga,’’ kata Puji.

Sesuai dengan laporan Camat Suparman, dan unsur masyarakat lainnya, memang sangat berat menjadi orang yang tinggal di perbatasan; apalagi ketika harus bertetangga dengan orang yang sudah hidup jaya. Namun, menurut Pujiastuti, di sinilah rasa nasionalisme diuji. Ketika dulu memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, para pejuang juga mengalami masa-masa sulit.

Sama halnya dengan Puji. Said Amir Hamzah juga punya pendapat serupa. Sebagai anak jati pulau Rupat, Said memberikan semangat agar masyarakat tetap mencintai Indonesia. Kalaupun saat ini pembangunan di sana berjalan lamban, paling tidak pemerintah sudah memberikan perhatian lebih kepada mereka saat ini.
’’Saya tidak ragu dengan kesetiaan masyarakat Rupat terhadap Indonesia. Namun soal pembangunan harus digesa, saya rasa itu adalah hal yang sebenarnya,’’ kata Said.
Lihatlah, Ada Sejuta Garuda!

Soal kesetiaan pada negara Indonesia dan semangat bela negara, kembali disampaikan Pujiastuti saat bertemu dengan puluhan pemuka masyarakat Dumai dan Rupat Selatan, plus Wakil Wali Kota Dumai dr Sunaryo di Dumai, Kamis (10/8) malam. Di sini, harapan Pujiastuti ditanggapi serius oleh masyarakat dan pemuka.
Setidaknya, 15 ketua suku di Dumai hadir dalam kesempatan itu. Hampir semuanya berpendapat senada. Namun jawaban dari Timo Kipda, Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Dumai nampaknya bisa merangkum itu semua.

’’Jangan ragukan kesetiaan kami kepada negara ini. Walaupun sejak puluhan tahun lalu kami mendengarkan siaran dari radio Malaysia dengan film-film P Ramlee, namun Indonesia masih menjadi darah daging kami. Belahlah dada saya, di sana akan ditemukan sejuta burung garuda,’’ katanya heroik.

Burung garuda memang menjadi lambang bangsa, salah satu identitas Indonesia. Timo tahu betul bahwa masyarakat pesisir dan orang yang berdiam di pulau terluar Indonesia sangat setia terhadap Indonesia. Walaupun setiap hari mereka berhubungan dengan orang kaya di Malaysia dan Singapura, namun di darah mereka masih mengalir semangat cinta Indonesia. Walaupun, ya walaupun Indonesia sudah teramat sering melupakan mereka.***

Selengkapnya...

Senin, 18 Februari 2008

Catatan Akhir Pekan

Manai

Orang kampung, dulu, suka membaca surat Yaasin. Baik bila ada kenduri atau takziah. Tapi ada juga yang membaca Yaasin untuk men-doakan sesuatu. Salah satu yang terkenal saat itu adalah doa agar seorang zhalim terkena manai. Biasanya masyarakat berkumpul, minimal 40 orang, baca Yaasin sama-sama, lakukan salat hajat, dan berdoa agar si zhalim itu terkena manai.Manai? Dia sebentuk penyakit seperti gerombolan anai-anai yang menggirik isi munggu. Dari luar, gundukan tanah itu tambah besar dan terlihat seperti keras.


Padahal, isi dalamnya sudah berongga, dan melompong karena digerogoti anai-anai. Perut orang zhalim yang dibacakan Yaasin juga seperti itu; mem-besar, berkaca-kaca, keras, ususnya melilit, darah menjadi nanah, dan suatu saat bisa meletus!Mengapa dia terkena manai? Biasanya hukuman itu diberikan kepada orang-orang zhalim yang tak mau mengaku atas per-buatannya. Umpamanya, masyarakat mene-mukan harta anak yatim tiba-tiba hilang atau dikorupsi, harta soko dijual tanpa sepengetahuan mamak soko, atau milik masyarakat umum tiba-tiba tidak diketahui lesapnya di mana. Kalau tak ada yang mau mengaku, diambil kesimpulan secara aklamasi untuk melakukan sumpah manai tersebut.



Biasanya, sebelum sumpah manai dilakukan, si pelaku bakal mengaku.Sekarang, banyak orang memakan barang yang bukan haknya. Sebagian mereka masih menggunakan metode ancient, yaitu mema-kannya secara sembunyi-sembunyi. Tapi sebagian besar malah memakannya secara terang-terangan. Bukan melakukan korupsi di bawah meja, tapi mengorupsi uang bersama mejanya sekaligus. Kadang-kadang terkesan legal dan sesuai hukum, padahal tak lebih dari seorang pencuri, tepatnya perampok.Kita bisa melihat, bulan-bulan terakhir pihak penyidik, baik dari kejaksaan, Komisi Pem-berantasan Korupsi (KPK), dan kepolisian, berlomba melakukan pemeriksaan terhadap penggerus uang yang bukan miliknya. Ribuan triliun uang negara yang nota benenya uang rakyat, harus lebur di perut orang-orang yang harusnya disumpah manai.

Ternyata, walau setiap hari pihak penyidik melakukan peme-riksaan, tampaknya jumlah orang-orang yang layak disumpah manai semakin banyak saja. Seakan tak habis-habis.Indonesia memang negeri teruk. Jumlah utang menumpuk. Orang-orang yang mengambil keuntungan pribadi dengan mengorbankan orang banyak, berderet-deret sepanjang tali beruk. Mulai kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), sampai kasus-kasus kecil seperti pengadaan tali beruk. Kasus manai ini seperti sarang anai-anai, berkamar-kamar, kecil-kecil, dan sulit dicari di mana ujungnya karena dia mirip sebuah labirin prisma.Manajemen keuangan Indonesia memang perlu belajar dari manajemen keuangan masjid.

Uang serupiah pun, dihitung, dicatat, dan dipampangkan secara lugas. Setiap Jumat diumumkan, berapa uang masuk, berapa pula uang keluar. Beli satu gayung pun disebutkan. Dapat derma lima ratus rupiah pun disampaikan. Di sinilah peran akuntan pubik benar-benar bejalan. Karena, yang menjadi akuntan benar-benar dari publik; orang banyak. Bukan akuntan publik yang bisa dibayar!Andai saja, keuangan Indonesia dijalankan dengan lugas dan jelas seperti manajemen keuangan masjid, tentu saja persoalan moneter bangsa tidak akan seperti ini. Karena, di tengah publik, siapa saja yang tidak mau mengaku memakan harta yang bukan miliknya, bisa disumpah. Sumpah manai. Perut membengkak, berkaca-kaca, mengeras, usus membelit, darah menjadi nanah, dan suatu saat akan meletus.Adakah obligor yang mampu menahan penyakit manai?***

Selengkapnya...

Jumat, 08 Februari 2008

tajuk

Kehadiran JK di Negeri Kepala Naga

Dulu, Riau bangga mempunyai Batam. Pulau kecil yang kini sudah menjadi bagian wilayah Provinsi Kepulauan Riau itu, digadang-gadang bakal mengikuti jejak Singapura; menjadi kota rujukan dunia, tempat kemajuan dan kemakmuran bermuara.
Sebelumnya, negeri itu hanyalah pulau dengan penduduk pribumi yang bangga dengan hasil melautnya. Lalu, untuk menyulapnya agar bisa menjadi Singapura, pemerintah membentuk sebuah badan khusus yang kemudian diberi nama Otorita Batam (OB), penguasa tunggal yang menentukan hitam-putihnya sebuah kebijakan di sana.
Sayang, walau OB sudah jadi penguasa tunggal sejak 1971, Batam tetap tak mampu mengejar Singapura. Jangankan mengalahkan, berjalan sejajar pun tidak. Sampai sekarang, mimpi menjadi kota maju masih dalam batas angan-angan yang tak sampai.
Kemudian, setelah Batam menjadi bagian Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Riau pun coba mencari alternatif kota yang akan disulap menjadi kota maju. Tentu saja letak geografis dan kedekatan dengan akses dunia internasional menjadi pertimbangan utama. Dari sekian banyak wilayah yang dipersiapkan, Dumai dianggap paling potensial. Letaknya paling berhadap-hadapan dengan jalur pelayaran internasional; Selat Melaka. Infrastruktur berupa pelabuhan juga sudah tersedia, walaupun harus dilakukan pembenahan di sana-sini. Kota nelayan sebelum tahun 1950-an ini, juga memiliki sejumlah perusahaan multinasional dan kawasan industri. Dapat dikata, Dumai adalah kepala naga Sumatera. Kawasan paling potensial di Riau.
Tapi, membandingkan Dumai dengan Singapura, atau beberapa negara lainnya, tentu seperti membandingkan David dengan Golliath, bagai mengadu mentimun dengan durian. Untuk menjadikannya kawasan Free Trade Zone (FTZ) atau Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) masih diganjal oleh kekurangan fasilitas di sana-sini. Jalan akses ke berbagai wilayah industru saja, seperti ke Pelintung, masih jauh dari kalimat layak.
Pertanyaan yang kemudian sering muncul adalah bagaimana mungkin Riau bisa menyulap Dumai menjadi sebuah kawasan yang disegani serta bertaraf internasional, sementara kebijakan ke arah itu masih setengah-setengah. Tidak diikuti dengan aksi nyata dan monumental. Padahal, dengan kondisi Dumai yang masih seperti itu, perlu tindakan sporadis. Penganggaran infrastruktur tidak bisa hanya mengharapkan APBD Provinsi Riau, apalagi APBD Kota Dumai saja. Bisa lapuk pelabuhan tu, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) belum juga akan terujud. Pemerintah Pusat harus ikut memikirkan dan mengucurkan dananya untuk kawasan itu. Kalau untuk pembangunan Otorita Batam pemerintah bisa bertindak sporadis (walau ternyata masih tidak berhasil), maka untuk pembangunan Dumai juga harus sporadis. Bahkan harus lebih sporadis.
Kamis (7/2), Wakil Presiden RI Muhammad Jusuf Kalla berkunjung ke Dumai. Dia diterima langsung Gubernur Riau HM Rusli Zainal, Wali Kota Dumai Zulkifli As, serta berbagai unsur penting lainnya. Bersama Wapres juga ikut sejumlah Menteri Kabinet.
Apa komentar pria berkumis yang akrab disapa JK ini? Menjadikan Dumai sebagai kawasan ekonomi khusus itu mudah. Tapi, saat ini Dumai belum siap. ’’Perbaiki infrastrukturnya,’’ katanya.
Soal kekuarangan infrastruktur ini, semua orang sudah tahu. Tapi, selama ini pemerintah provinsi dan kota masih belum mampu (atau tak mau?). Maka mau tak mau, pemerintah pusat harus turun langsung. Bukan hanya meninjau, tapi juga mencurahkan dana dalam jumlah banyak.
Sekarang, Dumai menunggu keseriusan Pemerintah Pusat untuk mengucurkan dana. Seperti janji JK di depan masyarakat Riau, Pusat akan membantu pendanaan untuk pembangunan Dumai.
Kita tunggu janji itu…***

Selengkapnya...

Selasa, 05 Februari 2008

seniman perdana

Anugerah Seni DKR,
Cemeti Lecut Seniman


Awal Februari ini, Dewan Kesenian Riau (DKR) kembali memberikan apresiasi kepada seniman berupa gelar Seniman Perdana (SP) dan Seniman Pemangku Negeri (SPN). Seniman Perdana adalah seniman utama; orang yang dianggap paling gemilang dalam berkarya serta menunjukkan dedikasi dan kapabilitas tinggi. Sedangkan Seniman Pemangku Negeri, diambil dari lima percabangan seni. Sastra, tari, seni rupa, teater, dan musik.
Tahun ini, penerima SP adalah Rida K Liamsi. Seniman yang mengawali karirnya sebagai guru kemudian menjadi wartawan dan akhirnya berlabuh sebagai pengusaha ini, dianggap tim dewan juri layak menyandang gelar SP di depan namanya. Rida K Liamsi, selain sudah menekuni dunia sastra, khususnya menulis dan membaca puisi, juga terbilang sangat tunak dalam mendedikasikan dirinya dalam berkarya. Salah satu karyanya yang paling monumental adalah novel Bulang Cahaya yang mendapat respon positif tidak hanya di Riau, tapi juga merambah ke seantero Indonesia.
Sedangkan peraih Seniman Pemangku Negeri untuk cabang sastra adalah Fakhrunnas MA Jabbar, sastrawan yang terus menghasilkan ratusan karya di tengah kesibukannya sebagai Deputy Director di PT Riaupulp. Untuk cabang seni rupa diberikan kepada Masteven Romus, seniman seni rupa yang sudah menghasilkan sejumlah karya dan membentangkannya di banyak negara. Sedangkan untuk cabang musik, anugerah diberikan kepada Arman Rambah musik, arranger musik yang sangat tunak dengan karya-karya Melayu yang sangat kental.
Yang patut mendapat catatan khusus, tahun ini Anugerah Seni tidak diberikan kepada dua cabang seni, yaitu teater dan tari. Dewan juri yang dipimpin Dr Yusmar Yusuf MPsi, sekretaris Kazzaini Ks, dan anggota drh Chaidir MM, Prof Dr Ashaluddin Jalil MS, SP Taufik Ikram Jamil, SPN Iwan Irawan Permadi, dan Tien Marni, ini menilai untuk tahun kedua cabang tersebut belum menemukan seniman yang dinilai benar-benar layak untuk menerimanya.
Penerima anugerah berhak atas pencantuman gelar SP atau SPN di depan namanya. Selain itu, kepada mereka juga diberikan hadiah. Jumlahnya terbilang besar untuk ukuran penghargaan serupa. Untuk Seniman Perdana mendapatkan Rp75 juta, sedangkan Seniman Pemangku Negeri mendapatkan Rp25 juta. Beberapa seniman yang pernah meraih gelar ini adalah SP Sutardji Calzoum Bahri, SP Hasan Junus, SP Taufik Ikram Jamil, SPN Marhalim Zaini, SPN GP Ade Darmawi, dan sejumlah nama lainnya.
Pemberian Anugerah Seni ini tentu saja menarik disimak. Pertama, ini adalah pemberian anugerah yang mampu bertahan sampai usianya yang keempat. Pertahanan ini bisa dilakukan karena di-back up dengan baik oleh banyak pihak, terutama pendanaan dari pemerintah. Kedua, hadiah yang diberikan terbilang cukup besar, walaupun harus diakui, jumlah itu masih sangat tidak layak untuk menilai jasa dan karya seorang seniman. Seperti diketahui, seniman memang tidak mampu membuat jembatan, membangun pabrik, membuat perusahaan, namun seniman mampu membangun jiwa sang pembuat jembatan, sang pembangun pabrik, dan lainnya. Tak bisa dibayangkan, jika yang bekerja di pabrik, mengatur perusahan, atau memimpin negara adalah orang yang tidak punya jiwa seni, tentulah semua akan menjadi kering tak bermaya.
Ketiga, ternyata tahun ini, dua percabangan seni, yaitu tari dan teater, tidak menempatkan perwakilannya. Ini harus menjadi catatan penting bagi seluruh seniman di dua cabang ini untuk kembali memompa semangat dan meningkatkan kualitas karya. Walaupun anugerah bukan akhir dan tujuan sebuah karya, namun anugerah juga bisa dijadikan acuan berkarya atau tidak, berkualitas atau tidak, diakui atau tidak, oleh pihak lain.
Anugerah Seni DKR ini memang layak dipertahankan. Walau harus diakui, ada beberapa kekurangan yang harus dibenahi. Ya, seperti jumlah hadiah yang dinilai masih kurang layak untuk memberi apresiasi kepada seniman. Apalagi, sejak diluncurkan pertama kali, jumlah hadiah itu tidak bertambah sampai sekarang. Saatnya, seniman mendapat penghargaan yang semakin layak.***

Selengkapnya...